Nglanggeran, Desa Wisata yang Makin Mendunia

Katadata
Bebatuan di puncak Gunung Api Purba, Desa Nglanggeran, Yogyakarta.
Penulis: Shabrina Paramacitra - Tim Publikasi Katadata
22/9/2022, 08.33 WIB

Bukit Nglanggeran konon merupakan tempat menghukum warga desa yang ceroboh karena merusak wayang. Nama ‘Nglanggeran’ berasal dari kata ‘nglanggar’ yang artinya melanggar.

Menurut cerita rakyat yang beredar, penduduk desa sekitar mengundang seorang dalang untuk mengadakan pesta syukuran hasil panen.

Akan tetapi, ada beberapa warga desa yang melakukan hal ceroboh. Mereka mencoba merusak wayang milik dalang.

Sang dalang pun murka, lantas mengutuk warga desa yang merusak wayangnya. Warga yang dikutuk kemudian dibuang ke Bukit Nglanggeran.

Desa Wisata Nglanggeran juga punya air terjun bernama Kedung Kandang. Air terjun ini terbentuk dari susunan batuan vulkanik yang berundak, tepat di tengah-tengah terasering sawah.

Bergeser sedikit, ada Embung Nglanggeran yang berlatar pemandangan desa serta pepohonan hijau.

Selain mengunjungi pegunungan dan waduk, desa ini juga memiliki peternakan kambing, pusat kerajinan topeng kayu dan pusat produksi cokelat.

Pengunjung juga bisa belajar bermain karawitan dan reog mataram. Kedua produk budaya itu merupakan kesenian khas masyarakat Desa Wisata Nglanggeran.

Desa Wisata Nglanggeran adalah desa binaan PT Pertamina (Persero) melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Program tersebut membantu warga mewujudkan desa wisata untuk menjadi desa yang berkelanjutan.

Program pengembangan ini merupakan bagian dari implementasi prinsip lingkungan, sosial, dan pemerintah (environtment, social, and government/ESG) dalam TJSL Pertamina.

Berkat TJSL itu, Desa Wisata Nglanggeran telah memiliki waduk mini untuk menadah air hujan. Waduk bervolume sekitar 8.000-10.000 meter kubik itu berfungsi sebagai pusat irigasi sekaligus agrowisata. Di samping itu, Pertamina juga menginisiasi perbaikan rumah-rumah warga dan fasilitas umum.

Setiap keluarga di Dewa Wisata Nglanggeran mendapatkan alokasi tanah untuk bercocok tanam, masing-masing 2.000 meter persegi. Total, keseluruhan lahan ini mencapai 30 hektare.

Para petani pun sudah melakukan budidaya tanaman dengan teknik yang modern. Kini, warga lebih sejahtera dengan pendapatan rata-rata tiap keluarga sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 11,5 juta per bulan.

Selain itu, berbagai alternatif pekerjaan pun muncul. Warga membuka berbagai usaha, seperti homestay, kuliner, parkir, ticketing, pagelaran acara, pelatihan, serta kunjungan wisata.

Halaman: