Pandemi Covid-19 menjadi momentum peningkatan imunitas kelompok (herd immunity). Untuk itu, pemerintah dan pihak swasta bahu-membahu berkampanye untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang risiko ancaman bahaya.
Komunikasi risiko ini terutama terkait vaksinasi massal, khususnya untuk kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Kemitraan Australia-Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) telah menyelenggarakan Inisiatif Akses Vaksin dan Keamanan Kesehatan (VAHSI), sebuah program yang membantu kelompok rentan mendapatkan vaksin Covid-19.
Dalam webinar bertajuk Komunikasi Risiko untuk Mewujudkan Vaksinasi Covid-19 yang Inklusif pada Selasa (4/7), Minister Konselor bagian Tata Kelola Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Madelaine Moss mengatakan, pengalaman kegiatan komunikasi risiko semasa pandemi Covid-19 bisa menjadi pembelajaran untuk antisipasi terjadinya wabah.
”Terutama kelompok rentan, mereka harus dibekali informasi yang baik dan lengkap. Karena, mereka harus tetap tangguh menghadapi tantangan kesehatan di masa depan,” ungkapnya.
Diskusi yang merupakan hasil kerja sama antara Katadata dengan AIHSP itu juga menghadirkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (P2P Kemenkes), Maxi Rein Rondonuwu. Ia mengungkapkan, informasi dan data sangat penting dalam komunikasi risiko.
Karena itulah, pihaknya saat ini melakukan integrasi data dengan platfrorm yang sudah diluncurkan pemerintah, yakni Satu Sehat. Platform tersebut merupakan pengembangan lanjutan dari aplikasi Peduli Lindungi. Integrasi data akan memudahkan pengecekan riwayat kesehatan masyarakat.
Dengan data tersebut, pencegahan penyebaran penyakit akan lebih mudah dilakukan. ”Seluruh data kesehatan akan tercakup di sini, dengan data terintegrasi by addres, by individu,” kata Maxi.
Tak hanya integrasi data, Kemenkes juga sedang menetapkan peta jalan layanan kesehatan untuk kelompok rentan. Hal itu diwujudkan dengan pengadaan layanan kesehatan secara inklusif. Fasilitas ini akan memudahkan kelompok rentan untuk mengakses layanan kesehatan.
Inklusivitas ini, kata Maxi, merupakan bentuk kedaulatan kesehatan masyarakat yang akan terus diwujudkan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah kerja sama pemerintah dengan AIHSP melalui penyelenggaraan VAHSI. ”VAHSI ini telah berhasil membantu menyasar kelompok risiko tinggi,” imbuh Maxi.
Dalam forum diskusi yang juga didukung oleh Kemenkes dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu, mengemuka pula pembahasan mengenai penanggulangan pandemi Covid-19 di beberapa daerah.
Di Jawa Tengah (Jateng), misalnya. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng Irma Makiah menceritakan program penanggulangan Covid-19 bernama Jogo Tonggo. Kegiatan ini terjadi berkat kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya, serta AIHSP.
Program tersebut melibatkan relawan untuk saling membantu warga di sekitar tempat tinggal ketika terjadi pagebluk. Relawan Jogo Tonggo, kata Irma, sangat membantu memberikan pemahaman mengenai urgensi vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat yang tergolong rentan dan berisiko tinggi.
Program ini juga dilengkapi dengan kegiatan vaksinasi, terutama di kota dan kabupaten yang memiliki tingkat vaksinasi yang rendah. Irma mengungkapkan, praktik Jogo Tonggo di lapangan terintegrsai dengan database Covid-19 Jateng. ”Itu ada pencatatan dari diagnostik hingga subjek,” tuturnya.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Vaksinasi massal di kawasan itu bisa berjalan dengan baik berkat sinergi lintas sektor, seperti kolaborasi yang melibatkan militer dan polisi.
”Kita di Pinrang juga ada mobil layanan kesehatan. Ketika mobil ini digunakan, bisa sangat membantu keterjangkauan vaksinasi ke kelompok rentan dan berisiko tinggi,” ucap Kepala Dinkes Kabupaten Pinrang, Dyah Puspita Dewi.
Namun, penyelenggaraan kegiatan penanggulangan Covid-19 bukannya tanpa masalah. Beberapa hambatan dialami oleh kelompok rentan, termasuk ihwal akses vaksinasi. Aktivis komunitas Tuli, Amanda Farlany, mengaku sempat kesulitan mengakses vaksin karena ketiadaan sarana transportasi dan keterbatasan komunikasi.
Masalah bahasa menjadi kendala utamanya. Ketika datang untuk mengantre vaksin, Amanda tidak bisa mendengar panggilan dari petugas. ”Jadi antre urutan bisa terlewat,” keluhnya. Untuk itu, ia menyarankan pemerintah agar menyediakan layanan khusus untuk penyandang Tuli. ”Komunikasi jadi penting, misalnya fasilitas juru bahasa tuli.”
Merespons hal itu, Direktur Pengelolaan Imunisasi Ditjen P2P Kemenkes Prima Yosephine mengatakan kolaborasi lintas sektor akan sangat membantu. Tiap sektor akan bergerak ke kantong populasi tertentu, semisal kelompok rentan.
Selain itu, pendekatan penanganan wabah harus dilakukan dengan penyesuaian terhadap kearifan lokal di daerah setempat. ”Misalnya, ada organisasi masyarakat setempat yang membantu menjangkau ke masyarakat adat Baduy. Ini bisa menjadi kolaborasi antarelemen masyarakat yang sangat membantu program pemulihan, khususnya vaksinasi,” jelas Prima.