Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terus memanas. Sepanjang tiga tahun terakhir, kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut saling berbalas menerapkan tarif impor. Negosiasi keduanya telah diupayakan, tapi belum membuahkan hasil.
(Baca: Ancaman Perang Dagang Amerika yang Memicu Resesi Ekonomi Dunia)
Akibat dari perang dagang ini, kondisi perekonomian global jadi tak menentu. Pada Senin (6/5) lalu, Donald Trump mengunggah cuitan di Twitter: “Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat kehilangan US$ 600 miliar hingga 800 miliar per tahun di sektor perdagangan. Dengan RRT kami kehilangan US$ 500 miliar. Kami tidak akan melakukan itu lagi!” Cuitan yang membuat pasar global bergoyang.
(Baca: Dampak Berantai Perang Dagang AS - Tiongkok terhadap Ekonomi Indonesia)
AS kemudian memberlakukan tarif 25 persen terhadap impor produk komoditas RRT sebesar US$ 200 miliar atau senilai Rp 2.800 triliun pada pekan lalu (10/5). Regulasi tersebut direspons RRT dengan mengenakan tarif 25 persen atas 2.493 produk AS senilai US$ 60 miliar yang akan resmi diberlakukan 1 Juni mendatang.
(Baca: Menteri Darmin Waspadai Perang Dagang yang Tak Akan Cepat Selesai)
Ketegangan ini kembali menyurutkan negosiasi dagang AS dan RRT, meski keduanya sempat melakukan “gencatan senjata” sejak Desember 2018. “Risiko perang dagang yang meledak meningkat. Ancaman Trump mungkin menjadi bumerang, karena RRT tidak akan mau bernegosiasi dengan pistol yang mengarah ke kepala mereka,” ujar ekonom Maybank Kim Eng Research Pte. Chua Hak Bin, seperti dikutip dari Bloomberg.