Sampah organik menjadi jenis sampah yang paling banyak berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017 menunjukkan, kontribusinya mencapai 60 persen.
Umumnya pembuangan sampah organik dilakukan dalam wadah tertutup supaya tidak tercecer dan untuk menghindari bau. Hal ini bisa menyebabkan pembusukan anaerobik (tanpa oksigen) yang kemudian menghasilkan gas metana.
Gas metana sebenarnya dapat menjadi bahan dasar untuk biogas. Namun, jika terlepas ke udara bebas, gas ini bisa mempercepat penipisan lapisan ozon dan rentan menjadi sumber api. Contoh bahayanya ialah ledakan TPA Leuwigajah, Jawa Barat, pada 2005 lalu. Timbunan sampah yang membludak menyebabkan ledakan gas metana dan menelan korban 157 jiwa.
Untuk mengurangi proporsi dan penumpukan sampah organik di TPA, upaya sederhana bisa dilakukan mulai dari rumah. Mengurangi sampah organik bisa dilakukan dengan tidak berbelanja secara berlebihan, donasi makanan jika berlebih, dan mengajak lingkungan sekitar untuk mengolah sisa bahan organik menjadi pakan hewan dan kompos.
Mengajak lingkungan sekitar untuk bijak mengelola sampah organik bisa dimulai dengan memilih agen daur ulang yang baik. Salah satunya jasa Responsible Waste Management Waste4Change yang juga menyediakan jasa angkut dan daur ulang sampah organik dan anorganik untuk perumahan dan apartemen.