Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah Indonesia menyusun berbagai kebijakan penerapan energi bersih dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Dimulai dari Perpres No. 5/2006 tentang penentuan target diversifikasi energi, kemudian PP No. 79/2014 tentang peningkatan penggunaan EBT.
Selain itu, juga disusun Permen ESDM No. 49/2017 tentang pokok-pokok perjanjian jual beli tenaga listrik, Permen ESDM No. 49/2018 tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap oleh konsumen PLN, dan Permen ESDM No. 4/2020 tentang pemenafaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
Sejauh ini, pengembangan energi bersih masih menghadapi berbagai kendala. Dimulai dari biaya tinggi pengembangan EBT, subsidi dan insentif pada EBT terbatas, harga jual energi fosil yang masih lebih murah, pangsa pasar masih minim, serta regulasi yang sering berganti.
Namun demikian, peluang Indonesia mengimplementasikan energi bersih juga besar. Utamanya karena bahan baku EBT di Indonesia melimpah. Sebut saja arus laut, panas bumi, bioenergi, angin, air, dan matahari. Ditambah, ekspor barang dengan emisi tinggi sudah mulai dibatasi yang akan memberi kesempatan pengembangan energi bersih.
Selanjutnya, pengajuan investasi tingkat internasional juga sudah mudah diakses. Harga teknologi EBT kini semakin murah dibanding tahun-tahun awal kemunculannya. Peluang diperbesar dengan adanya komitmen perusahaan multinasional untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi bersih ini.