Yayasan KEHATI Indonesia, SPOS Indonesia, Bersama Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) mengusulkan Strategi Jangka Benah (SJB) untuk memperbaiki struktur ekosistem hutan yang rusak akibat penanaman kebun sawit monokultur.
Keterlanjuran perkebunan sawit di kawasan hutan menjadi isu serius bagi praktik berkelanjutan di Indonesia. Penyelesaian persoalan keterlanjuran ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang telah disahkan di akhir 2020. Meski telah diatur dalam Omnibus Law, mengatasi keterlanjuran membutuhkan strategi teknis.
Mengutip laman Jangkabenah.org, Jangka Benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur.
Dalam mekanisme SJB, terdapat 2 tahapan untuk mencapai kondisi ideal hutan alam. Pertama, perbaikan struktur hutan dengan metode agroforestri dengan mencampur tanaman sawit dengan komoditas lain.
Tahap kedua, memasuki tahap pemulihan fungsi ekosistem di mana kondisi tutupan lahan berupa kebun sawit campur akan berubah menjadi tutupan lahan yang menyerupai hutan alam, seperti sebelum lahan hutan dikonversi menjadi kebun sawit monokultur.
Terdapat dua persyaratan dalam penerapan SJB, di antaranya syarat kawasan dan syarat kelembagaan. Pada syarat kawasan, Jangka Benah diterapkan pada kebun sawit monokultur di kawasan hutan yang memiliki izin Perhutanan Sosial (PS). Adapun skema PS yang digunakan di antaranya skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Sementara pada syarat kelembagaan, Jangka Benah diterapkan oleh petani pemegang izin PS seperti kelompok tani hutan (KTH). Apabila belum berizin PS, desa atau kelompok masyarakat dapat mengajukan izin dengan difasilitasi oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).
Selain memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan, SJB juga diharapkan mampu memberi dampak sosial dan ekonomi lebih bagi masyarakat. Terutama bagi petani kelapa sawit skala kecil. Di sisi lain, SJB juga dapat mendorong upaya percepatan pencapaian program Perhutanan Sosial.
Di beberapa wilayah di Tanah Air, praktik kebun campur sudah banyak diterapkan. Temuan SPOS Indonesia menunjukkan berbagai praktik kebun sawit campur di antaranya di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat. Sementara di wilayah Sumatera dilakukan Kabupaten Tebo, Jambi.
Berbagai komoditas selain sawit dihasilkan dan memiliki nilai ekonomi menjanjikan di antaranya tanaman karet, sengon, jelutong, petai, meranti, hingga jengkol. Pencampuran komoditas tanaman ini diharapkan mampu menjadi sumber ekonomi lain ketika kebun sawit sedang tidak berproduksi.