Pola konsumsi pangan lokal di Indonesia mengalami pergeseran signifikan, dari beragam bahan pangan, kini didominasi beras dan terigu. Kebijakan pangan yang memprioritaskan beras sebagai bahan pokok menyebabkan rendahnya apresiasi terhadap pangan khas lokal.
Homogenitas tersebut dapat mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Untuk itu, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi meluncurkan prakarsa Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) pada 2021.
Bersama masyarakat adat, SLKL menjadi kegiatan pendidikan untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan pengetahuan tradisional dan ilmu pengetahuan modern, dengan fokus pada pertanian, perikanan, kehutanan, dan praktik ramah lingkungan.
SLKL bertujuan mengurangi ketergantungan pada beras, melindungi dan memanfaatkan budaya pangan lokal, memperkuat jejaring masyarakat adat, dan mendorong partisipasi anak muda. SLKL menerapkan prinsip partisipatif, inklusif, gotong royong, kontekstual, bermanfaat, dan berkelanjutan.
Selama tiga tahun terakhir, SLKL telah tersebar di 16 wilayah masyarakat adat Indonesia, termasuk Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua. SLKL juga mendorong ekspresi budaya masyarakat adat melalui berbagai kegiatan tradisional.
Sebagai contoh, kegiatan “Gelekat Lembata” dari Suku Edang Lamaholot, melibatkan perempuan dari 12 kampung adat untuk mengenalkan pangan lokal seperti jewawut, jali, sorgum, ubi, labu, sintrong, dan buah kundur. Selain itu, ada “Festival Tokok Sagu” oleh Suku Skouw bertujuan mewariskan pengetahuan sagu dari tetua adat.
Dengan semakin meluasnya inisiatif SLKL dan partisipasi aktif masyarakat adat, kesadaran akan pentingnya keragaman pangan lokal dapat meningkat. Inisiatif ini dapat memperkuat ketahanan pangan nasional dan memastikan bahwa kekayaan budaya dan kearifan pangan lokal tetap terjaga dan diteruskan oleh generasi mendatang.