Indonesia sedang mempercepat hilirisasi nikel untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alamnya. Namun, proses ini membutuhkan pasokan energi besar yang sebagian besar dipenuhi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Kebijakan ini didorong oleh Perpres 112/2022 yang mempermudah pembangunan PLTU di kawasan industri strategis, termasuk industri nikel.
Per Januari 2024, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia berdasarkan kepemilikan dan status operasionalnya terutama pembangkit listrik Captive memiliki kapasitas operasional sebesar 14,49 GW, dengan tambahan 5,42 GW yang masih dalam tahap pembangunan. Sementara itu, 2,62 GW masih dalam proses perizinan, sebanyak 3,6 GW diumumkan, dan 600 MW ditunda. Sektor nikel sangat mendominasi kapasitas ini dengan menyerap sekitar 67,5% (17,6 GW) dari total kapasitas PLTU Captive.
Selain Captive, pembangkit listrik milik IPP (Independent Power Producer) dan PLN juga berkontribusi besar. Kapasitas operasi IPP mencapai 21,68 GW, sedangkan PLN memiliki 16,21 GW kapasitas yang telah beroperasi. Kedua kategori ini juga memiliki kapasitas tambahan yang sedang dalam tahap pembangunan.
Permasalahannya, pembangunan PLTU Captive menghadapi tantangan agar dapat menyeimbangkan kebutuhan energi untuk hilirisasi dengan keberlanjutan lingkungan. Batu bara, meskipun murah, sangat mencemari dan bertentangan dengan target pengurangan emisi global. Alhasil, transisi ke energi terbarukan seperti surya, angin, dan geothermal perlu dilakukan, meskipun penerapannya di industri masih terbatas dan memerlukan investasi besar. Meskipun permintaan nikel global, terutama baterai kendaraan listrik meningkat, keberlanjutan sektor ini bergantung pada kemampuan Indonesia untuk mengurangi dampak lingkungan melalui energi yang lebih bersih.