Biografi Sunan Kalijaga, Wali Songo dari Tuban

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/nz
Sejumlah warga memikul gunungan hasil bumi saat mengikuti prosesi tradisi sesaji Rewanda untuk mengenang kisah napak tilas Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati yang akan digunakan untuk pemembangunan Masjid Agung Demak dan juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas karunia serta keselamatan yang telah diberikan.
Editor: Agung
18/4/2024, 19.43 WIB

Sunan Kalijaga merupakan salah satu tokoh legendaris Indonesia. Sunan Kalijaga lahir sekitar abad ke-15 dari keluarga bangsawan Tuban, yaitu putra Tumenggung Wilatikta, seorang bupati Tuban, dan Dewi Nawangrum.

Nama kecilnya adalah Raden Sahid, kadang dieja sebagai Raden Said. Sebagai keturunan bangsawan, dia dikenal dengan beberapa nama lain, termasuk Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti, dan Raden Abdurrahman.

Berkenaan dengan itu, menarik mengetahui sosok Sunan Kalijaga. SImak penjelasannya dalam biografi Sunan Kalijaga sebagai berikut.

Biografi Sunan Kalijaga

Melansir dari Gramedia, terdapat dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan campuran Arab dan Jawa asli. Sedangkan menurut Babad Tanah Jawi, dia adalah orang Arab. Bahkan, silsilahnya dapat dilacak hingga Abbad bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW.

Sejak kecil, Sunan Kalijaga telah diajarkan Islam oleh guru agamanya dengan harapan agar ajaran Islam dari Al Quran dan Hadis Nabi menjadi pedoman hidupnya. Selain itu, dia juga diberi pelajaran tentang kepemimpinan, terlihat dari perannya sebagai pemimpin atau inisiator ide saat bermain dengan teman-temannya. Meskipun demikian, dia tidak pernah sombong dan tetap merendahkan diri, sehingga disukai oleh teman-temannya.

Menurut beberapa sumber, terdapat dua narasi mengenai masa muda Sunan Kalijaga. Versi pertama menyatakan bahwa pada masa itu, Sunan Kalijaga yang masih dikenal sebagai Raden Said terlibat dalam tindakan yang dapat dianggap sebagai pencurian.

Namun, perampokan dan pencurian yang dilakukan tidak untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk membantu rakyat kecil. Khawatir dengan kondisi kemiskinan yang melanda masyarakat Tuban, Raden Said, yang telah dididik dengan nilai-nilai agama sejak kecil, merasa tergerak untuk bertindak. Meskipun telah menyampaikan kekhawatirannya kepada ayahnya, yang hanya seorang bawahan di Kerajaan Majapahit, Raden Said merasa perlu bertindak secara langsung.

Rasa solidaritas dan simpati Raden Said terhadap rakyat Tuban mendorongnya untuk melakukan aksi pencurian bahan makanan di gudang Kadipaten. Hasil curian tersebut kemudian dibagikan diam-diam kepada rakyat Tuban. Namun, aksi tersebut terbongkar, dan Raden Said diusir dari Tuban sebagai akibatnya. Setelah pengusiran itu, Raden Said menjalani masa pengembaraan tanpa tujuan yang pasti, tetapi tetap dengan tujuan yang sama, yaitu membantu rakyat kecil dengan cara merampok dan mencuri.

Raden Said kemudian menetap di hutan Jatiwangi, di mana dia menjadi seorang berandal yang merampok orang-orang kaya yang melintasi hutan tersebut. Versi kedua dari cerita ini menyajikan gambaran bahwa Raden Said sejak kecil sudah memiliki sifat nakal dan tumbuh menjadi sosok yang sadis. Bahkan, ia disebut pernah terlibat dalam pembunuhan dan dikenal dengan julukan Brandal Lokajaya.

Singkatnya, perilaku nakal Raden Said berakhir setelah ia bertemu dengan Sunan Bonang dan bertaubat. Menurut Serat Lokajaya, pada suatu hari, Raden Said sedang bersembunyi di hutan untuk mencari mangsa.

Saat itulah, ia bertemu dengan seorang tua yang mengenakan pakaian gemerlap, yang ternyata adalah Sunan Bonang. Raden Said berusaha merampas harta Sunan Bonang, namun Sang Sunan mengetahui niat jahatnya dan menggunakan kesaktiannya untuk bermetamorfosis menjadi empat bentuk. Melihat hal itu, Raden Said ketakutan dan berusaha melarikan diri, tetapi setiap kali ia mencoba, ia selalu dihadang oleh Sunan Bonang.

Situasi semakin sulit bagi Raden Said, dan akhirnya ia merasa takut dan bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah peristiwa tersebut, Raden Said dijadikan murid oleh Sunan Bonang, dengan syarat bahwa ia harus menunggu di tepi sungai sambil menjaga tongkat Sunan Bonang. Kegigihan Raden Said dalam menunggu di tepi sungai itulah yang kemudian memberinya julukan Kalijaga, yang berarti "penjaga sungai".

Sunan Kalijaga, salah satu tokoh penting dalam sejarah Jawa, tercatat memiliki tiga orang istri yang bernama Dewi Sarah, Siti Zaenab, dan Siti Hafsah. Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, beliau memiliki tiga anak, yaitu Raden Umar Said (dikenal sebagai Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.

Selain itu, dari pernikahannya dengan Siti Zaenab, yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dikaruniai lima orang anak, antara lain Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.

Namun, mengenai pernikahannya dengan Siti Khafsah, belum ada kejelasan mengenai nama putranya. Siti Khafsah sendiri adalah putri dari Sunan Ampel. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan berlangsung lebih dari seratus tahun, mulai dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-16.

Selama periode tersebut, ia juga menyaksikan akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit pada tahun 1478. Sunan Kalijaga turut serta dalam merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.

Sunan Kalijaga akhirnya meninggal sekitar tahun 1680, mencapai usia sekitar 131 tahun. Beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, yang terletak di Demak. Sepanjang hidupnya, Sunan Kalijaga meninggalkan warisan yang besar dalam sejarah kebudayaan dan agama Jawa.