Cerita rakyat merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan tentang nilai kehidupan. Biasanya, setiap daerah memiliki sebuah cerita rakyat nusantara yang berbeda dengan daerah lain.
Dahulu cerita rakyat berkembang melalui budaya tutur, kemudian berkembang menjadi buku, film, dan gambar. Salah satu cerita rakyat yang populer adalah cerita Malin Kundang Si Anak Durhaka.
Cerita rakyat Malin Kundang berasal dari Padang, Sumatra Barat. Berlatar budaya minang yang kental, cerita rakyat Malin Kundang bercerita tentang sosok anak durhaka.
Cerita rakyat Malin Kundang kerap dikaitkan dengan keberadaan batu yang disebut-sebut merupakan jelmaan sosok Malin, tokoh utama dalam cerita tersebut. Daya tarik dari cerita rakyat satu ini yaitu pesan moral yang tersirat di dalam ceritanya.
Berikut cerita rakyat Malin Kundang Si Anak Durhaka, mengutip buku Dongeng Nusantara (2020) oleh Bambang Joko Susilo.
Cerita Rakyat Malin Kundang Bahasa Indonesia
Dahulu di sebuah dusun nelayan, tepatnya di Sumatra Barat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Ia tinggal bersama ibundanya, Mande Rubayah.
Sang ayah telah lama pergi meninggalkan ibu dan anak semata wayangnya itu. Malin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pemberani, tapi sedikit nakal.
Mereka hidup serba kekurangan. Hingga suatu ketika saat Malin beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari peruntungan di negeri seberang.
Dengan harapan nantinya saat kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi saudagar kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nahkoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Tekadnya semakin kuat, Malin meminta izin kepada ibundanya. Mande Rubayah sempat tidak setuju dengan keinginan anaknya, tetapi karena Malin terus mendesak akhirnya ia mengizinkan.
"Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan lupa dengan ibumu dan kampung halamanmu ini, Nak," pesan dari ibunya.
Ternyata keberadaan Malin di kapal itu sangat disukai. Selain karena ia sangat rajin dan selalu siap menolong, ia juga seorang pekerja keras.
Beberapa tahun berlalu, kini Malin telah menjadi seorang nahkoda yang mengepalai banyak kapal dagang. Ia pun berhasil memperistri salah seorang putri raja yang cantik jelita.
Kabar kesuksesannya sampai kepada ibunda Malin. Setiap hari Mande Rubayah menyempatkan diri pergi ke dermaga berharap bisa bertemu putranya, Malin.
Suatu ketika, sampailah kapal mereka di kampung tempat Malin dulu dibesarkan. Malin Kundang pun turun dari kapal, kemudian disambut oleh ibundanya.
“Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar,” katanya sambil memeluk Malin.
Malin Kundang justru malah segera melepaskan pelukan tersebut dan mendorong ibundanya hingga terjatuh.
"Wanita tidak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku,” kata Malin kepada ibunya.
Malin berpura-pura tidak mengenal ibunya, karena malu melihat ibunya yang sudah tua dan memakai baju compang-camping.
“Wanita itu ibumu?,” tanya istri Malin.
“Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan hartaku,” sahut Malin.
Melihat tingkah Malin yang congkak di depan istrinya, Mande Rubayah sangat sakit hati. Ia melihat kapal anaknya yang bertolak dari pantai, sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan menghukum anaknya.
Tidak lama setelah kapal itu bertolak, badai pun datang. Air laut yang bergelora menerjang dan membanting kapal besar yang sangat megah tersebut.
Bangkai kapal berhamburan beserta segala isinya. Setelah kapal itu hancur, badai pun reda.
Selain serpihan pecahan kapal, di pantai itu terlihat ada sebuah batu karang yang mirip dengan sosok Malin yang sedang bersimpuh.
Pesan Moral Cerita Rakyat Malin Kundang
Nilai moral yang bisa diambil dari cerita rakyat Malin Kundang adalah jangan menyakiti doa orang tua, karena doa mereka akan sangat mudah dikabulkan. Terlihat dari doa ibu Malin yang menginginkan anaknya menjadi batu dan Malin langsung menjadi batu.
Cerita Rakyat Malin Kundang Bahasa Inggris
Dikutip dari buku American Myths, Legends, and Tall Tales karya Christopher R dan Jeffrey B Webb berikut cerita Malin Kudang dalam Bahasa Inggris.
Once upon a time, on the north coast of Sumatera lived a poor woman and his son, who called Malin Kundang. His Father eventually died, and his mother lived alone as a poverty-stricken old woman.
Malin Kundang grew up as a skillful young boy. He always helps his mother to earn some money. One day, Malin Kundang decide going to overseas and promise to come back.
After several years had gone by, Malin Kudang finally decide to return to his village. He arrived wearing fine clothes and traveling on one of his ships. Someone arriving in such splendor was uncommon to the villagers, so many of them went down to the harbor to view the sight.
One of the villagers recognized Malin Kundang form a scar that he had received while playing as a child. Upon recognizing the mark, the villager went to tell Malin Kundang's mother that her son had returned. Excitedly, she went to the shore and recognized her son the minute her eyes fell on him.
When the older woman called him her son, he refused to believe that he head such an old woman as a mother. His disbelief was heightened when his wife questioned why he had not told her that he had an elderly, poor mother.
In an alternate translation, Malin Kundang was on the ship with just his crew. When his mother attempted to embrace him, he was too embarrassed by her ragged appearance to acknowledge her and instead, had one of them carry her away.
Distraught and finally realizing he son's wickedness, Malin Kundang's mother gave up on her son's acknowledging her and prayed to her god to punish her son for his behavior.
The day after his mother's prayer, Malin Kudang sailed out of the village. Shortly thereafter, the ships was met by a violent storm. Malin Kundang believed the storm was his god's and nature's ways of punishing him for his mistreatment of his mother.
He felt guilty about his behavior towards her, asked for forgiveness, and began to pray. However, his repentance was too late, for the ship was destroyed at sea. But, in some translations of the tale, Malin Kundang was turned into coral. In other, the ship, the crew, and he become rock formations that are still standing.