Advertisement
Analisis | Efek Berantai Dua Tragedi Boeing 737-MAX 8 - Analisis Data Katadata

Efek Berantai Dua Tragedi Boeing 737-MAX 8

Dua kecelakaan beruntun dalam kurun 5 bulan tersebut menuai reaksi besar dari seluruh dunia: Boeing 737-MAX 8 dilarang terbang di berbagai negara, negosiasi ulang kontrak pemesanan, harga saham jatuh.

Nazmi Haddyat Tamara

21/3/2019, 10.00 WIB


Boeing sedang ditimpa masalah mahaberat. Hanya berselang kurang dari lima bulan, dua pesawat generasi terbarunya yaitu Boeing 737-MAX 8 jatuh dan merenggut nyawa semua penumpang dan awaknya. Pertama, pesawat milik Lion Air jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, akhir Oktober 2018. Kedua, pesawat milik Ethiopian Airlines jatuh di perbatasan negaranya pada 10 Maret lalu.

Dua kecelakaan beruntun tersebut menuai reaksi besar dari seluruh dunia. Boeing 737-MAX 8 dilarang terbang di puluhan negara. Sejumlah maskapai juga menegosiasikan ulang pembelian pesawat tersebut. Sedangkan harga saham Boeing di bursa sudah anjlok puluhan persen akibat sentimen negatif tersebut.

Nasib nahas ini tentunya tidak terbayangkan oleh Boeing sebelumnya, ketika merilis pesawat tersebut beberapa tahun lalu. Boeing 737-MAX 8, salah satu varian dari generasi 737-MAX ini merupakan pesawat sipil dengan kapasitas maksimal 210 penumpang.

Evakuasi korban jatuhnya pesawat Lion Air penerbangan JT 610 (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Kecelakaan Ethiopian Airlines (MICHAEL TEWELDE/AFP/Getty Images | CNN)

Pesawat ini merupakan suksesor dari generasi Boeing 737 Next Generation, sekaligus generasi ke-3 dari perjalanan panjang Boeing 737 Series sejak tahun 1964.

Pengembangan dan perakitannya dikenalkan pada 30 Agustus 2011. Enam tahun berselang, pesawat ini akhirnya terbang pertama kali pada 29 Januari 2016. Secara komersial, 737-MAX mulai terbang tahun 2017 dengan pengiriman pertama kepada Malindo Air (Malaysia).

Saat ini, 737-MAX memiliki 3 varian yaitu 737 MAX 7, MAX 8, dan MAX 9. Tak ada perbedaan mencolok dari ketiga varian tersebut kecuali panjang bodi dan kapastias penumpang.

Generasi ini digadang-gadang akan menjadi pesawat yang bertenaga, irit bahan bakar, namun tetap memiliki daya jelajah yang panjang. Varian terbaru yakni MAX 10 direncanakan akan diluncurkan dalam waktu dekat ini.

Laris di Seluruh Dunia


Selain menawarkan efisiensi, seri 737 MAX juga dibanderol dengan harga yang relatif murah. Tak ayal, seri MAX menjadi salah satu pesawat komersial terlaris di dunia.

Sejak pertama diluncurkan, pemesanan pesawat ini mencapai 150 unit. Hingga Februari 2019, secara kumulatif setidaknya 5.012 unit dipesan dan 376 di antaranya sudah dikirimkan ke pihak maskapai.

Pemesanan dan pengiriman pesawat ini menyebar hampir di seluruh dunia. Indonesia termasuk negara pemesan terbanyak, yakni posisi ke-5, sebanyak 251 unit 737 MAX dan 15 di antaranya sudah digunakan.

Dua maskapai asal Indonesia yang menggunakan 737-MAX adalah Lion Air dan Garuda Indonesia, masing-masing 14 unit dan 1 unit pesawat. Lion Air juga memesan 201 unit, sedangkan Garuda 50 unit.

Secara global, Lion Air juga termasuk pemesan terbanyak seri pesawat ini yaitu 201 unit. Sejak pemesanan pertama pada 22 Februari 2012, Lion hanya kalah dengan Southwest Airlines (AS) sebanyak 280 unit dan Flydubai 250 unit pesawat.

Potensi Kerugian dan Harga Saham


Dampak tragedi dua kecelakaan dan larangan terbang Boeing 737-MAX 8 berujung pada ketidakpastian pemesanan unit pesawat dari berbagai maskapai. Lion Air dan Garuda sama-sama menegosiasikan ulang seluruh pesanan Boeing 737-MAX.

Lion Air Group tengah renegosiasi dengan Boeing terkait pemesanan 222 unit pesawat Boeing 737 Max 8, Max 9 dan Max 10 hingga tahun 2035. Kemungkinan, pesawat tersebut ditukar dengan jenis yang lain.

Nilai investasi Lion Air untuk sisa unit yang masih dipesan mencapai US$ 22 miliar. Nilai ini juga yang sedang dinegosiasikan ulang.

Garuda turut mengkaji ulang pemesanan unit pesawat 737 MAX. Saat ini, masih ada 49 unit pesawat pesanan maskapai BUMN tersebut yang belum tiba.

Pesawat Lion Air (Arief Kamaludin | KATADATA)

Pesawat Garuda Indonesia (Arief Kamaludin | KATADATA)

Secara global, sebanyak 4.636 unit dari total 5.012 pemesanan belum masuk tahap pengiriman. Jika rata-rata harga per unitnya US$ 116,7 juta maka Boeing berpotensi kehilangan pendapatan hingga US$ 541 miliar.

Berbagai sentimen negatif ini juga direspons oleh pasar saham. Sejak terjadinya kecelakaan, harga saham Boeing Co anjlok 17% menjadi US$ 367,84. Penurunan harga saham itu menggerus kapitalisasi pasar produsen pesawat itu hingga US$ 43 miliar.

Hal serupa juga terjadi saat kecelakaan pertama menimpa Lion Air. Saat itu, harga saham Boeing turun 7% selama beberapa hari pasca kecelakaan. Tren penurunan terus terjadi setidaknya hingga akhir 2018.

Setelah mengalami tren turun pasca kecelakaan pertama, harga saham Boeing sempat mengalami rally panjang pada awal tahun. Hal ini diperkirakan terjadi mengikuti performa keuangan Boeing yang mengalami kenaikan.

Sepanjang 2018, Boeing mencatatkan pendapatan US$ 101,13 miliar atau naik 8% dibandingkan tahun sebelumnya. Pendapatan ini disokong oleh kenaikan pada segmen penjualan di daerah Asia (selain Tiongkok) yang naik hingga 32%. Adapun, laba bersih sebesar US$ 10,5 miliar atau naik 23%.

***