Advertisement
Advertisement
Analisis | Dampak dari Aroma Duopoli Bisnis Penerbangan di Indonesia - Analisis Data Katadata

Dampak dari Aroma Duopoli Bisnis Penerbangan di Indonesia

Nazmi Haddyat Tamara

31/3/2019, 12.00 WIB

Tren penurunan jumlah penumpang domestik mulai terlihat sejak Juli 2018 dan berlanjut hingga Februari 2019. Kecenderungan ini sejalan dengan tren kenaikan harga tiket pesawat Grup Lion dan Garuda Indonesia.

Awal Maret lalu, sempat mencuat kabar rencana Air Asia mengakuisisi Citilink. Rencana ini seakan menepis tawaran Garuda Indonesia sebelumnya untuk menjalin Kerja Sama Operasional (KSO). Apalagi, jika tawaran KSO itu disambut oleh maskapai asal Malaysia tersebut, maka bisnis penerbangan di Tanah Air makin mengerucut dan mengarah ke praktik oligopoli, bahkan duopoli.

Berdasarkan data Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, maskapai yang terdaftar dan beroperasi di Indonesia berjumlah 12 maskapai. Namun, yang menguasai rute-rute strategis hanya sekitar 8 maskapai. Sisanya, melayani rute pendek dan menjadi pesawat perintis untuk wilayah pelosok Indonesia.

Kondisi ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Besarnya beban operasional di tengah persaingan yang makin ketat membuat banyak maskapai terpaksa gulung tikar atau diakuisisi oleh pemain yang lebih besar. Dengan kondisi seperti ini, siapa saja yang menguasai bisnis penerbangan di Indonesia?

Peta Bisnis Penerbangan

Sejak tahun 2000, bisnis penerbangan komersial di Indonesia semarak oleh banyak maskapai. Tak kurang dari 20 maskapai mengisi persaingan dalam berbagai kelas. Mulai dari low cost carrier (LCC) atau pesawat berbiaya murah, hingga full service airline (FSA) atau pesawat berlayanan penuh.

Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Berbagai persoalan menerpa satu per satu maskapai. Sebut saja Adam Air, maskapai yang mulai mengudara pada 2003 dan mengambil pasar LCC, yang pernah berjaya. Hanya dalam 7 tahun, Adam Air mampu meningkatkan jumlah penumpang dari 5 juta menjadi 25 juta orang.

Tapi, hilangnya pesawat Adam Air yang mengangkut 96 penumpang dan 6 awak di perairan barat Pulau Sulawesi pada 1 Januari 2007, menjadi awal petaka bagi maskapai tersebut. Pemerintah memberikan ultimatum, yang disusul dengan memburuknya kondisi keuangan perusahaan. Ujungnya, medio 2008, Adam Air menghentikan operasionalnya.

Pesawat Adam Air (Keith Burton | Jetphotos.com)

Pesawat Batavia Air (Song | Jetphotos.com)

Masalah berbeda dihadapi Batavia Air. Meski mencatatkan zero accident, maskapai ini harus tutup dengan alasan keuangan buruk akibat melonjaknya utang. Batavia Air dinyatakan pailit pada 30 Januari 2013.

Mengikuti jejak Adam Air dan Batavia Air, maskapai besar yang juga harus gulung tikar adalah Tigerair Mandala, perusahaan penerbangan yang sahamnya dimiliki Sandiaga Uno lewat Saratoga Group. Ada pula Merpati Air, salah satu BUMN penerbangan untuk mengakses wilayah terluar Indonesia. Kedua maskapai ini berhenti terbang pada medio 2014 akibat kondisi keuangan yang tak kondusif.

Alhasil, hanya sedikit maskapai yang tersisa dan juga tergabung dalam beberapa grup besar. Adapun, dalam kurun 10 tahun terakhir, hanya ada satu pemain baru yakni Batik Air yang melayani FSA dari Grup Lion.

Jika disederhanakan, 8 maskapai besar yang saat ini beroperasi pada rute domestik mengerucut pada 4 grup besar. Pertama, Grup Garuda dengan Garuda Indonesia di FSA, dan Citilink di kelas LCC.

Kedua, Lion dengan 3 maskapai utama yakni Lion Air untuk LCC, Batik Air di kelas FSA, dan Wings Air untuk rute pendek yang menjangkau wilayah terluar.

Selanjutnya, Sriwijaya Group dengan dua maskapai yakni Sriwijaya Air dan Nam Air. Terakhir adalah Air Asia Indonesia, berinduk pada perusahaan Malaysia.

Sisanya, 4 maskapai yakni Kal Star, Express Air, Trans Nusa, dan Susi Air hanya menjadi maskapai perintis dan menerbangi sebagian kecil rute di wilayah terluar Indonesia.

Belakangan, peta bisnis penerbangan di Indonesia kian mengerucut dengan bergabungnya Sriwijaya dalam KSO di bawah Citilink pada akhir tahun lalu. Hanya ada tiga pemain besar yang menerbangi langit Indonesia: Garuda Group, Lion Group, dan Air Asia.

Kondisi tersebut berpotensi memunculkan praktik oligopoli. Bahkan, ada kecenderungan mengarah pada duopoli yakni dominasi pasar oleh dua grup maskapai saja.