Masalah Dua Motor Ekonomi RI yang Menahan Laju Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia pada kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07%, atau tumbuh negatif 0,52% dibandingkan kuartal sebelumnya. Ada masalah pada dua motor penggerak utama ekonomi negara selama ini.
Selama tiga bulan pertama tahun ini, tak ada kabar gembira menghampiri perekonomian Indonesia. Sejumlah intervensi dan terobosan kebijakan belum ampuh mendongkrak ekonomi tumbuh lebih tinggi di atas 5%. Dua motor utama penggerak ekonomi: konsumsi rumah tangga dan arus investasi, lajunya tertahan.
Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia kuartal I 2019 tumbuh 5,07% secara tahunan. Meski lebih baik dibandingkan periode sama 2018, ekonomi tiga bulan pertama tahun ini tumbuh negatif 0,52% dibandingkan kuartal IV 2018.
Dari sisi pengeluaran, ekonomi negara ini masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 56,82%. Selanjutnya, pos yang juga berkontribusi besar adalah investasi sebesar 32,17%. Sisanya, pengeluaran pemerintah, lembaga non-profit, hingga arus perdagangan luar negeri.
Salah satu penyebab ekonomi tumbuh tidak maksimal adalah melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2019, pertumbuhannya sebesar 5,01% secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode sama tahun lalu, tumbuhnya sedikit melambat daripada kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08%.
Dengan kontribusi terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.
Satu faktor yang ditengarai sebagai penyebab melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah masyarakat menengah ke atas menahan konsumsinya pada awal tahun. Hal ini terkait dengan berbagai faktor dan kondisi.
Berbeda pada masyarakat golongan bawah, pemerintah telah melakukan sejumlah intervensi untuk mendorong konsumsi yakni menyalurkan bantuan sosial (bansos) yang lebih besar.
Sepanjang kuartal I 2019, pemerintah gencar menyalurkan dana bansos sebesar Rp 37 triliun. Jumlahnya melonjak 106,6 % dari penyaluran periode sama tahun lalu. Dari total target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp 102 triliun, penyaluran bansos sudah mencapai 36,2%.
Merujuk data BPS, porsi belanja masyarakat berpengeluaran rendah hanya 17%. Alhasil, intervensi pemerintah pada masyarakat golongan bawah ini belum cukup mendongkrak konsumsi secara keseluruhan. Golongan menengah ke atas yang berkontribusi lebih besar memiliki andil paling signifikan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira melihat perlambatan terjadi akibat golongan menengah ke atas menahan konsumsi. Harga tiket pesawat yang tinggi ditengarai juga menjadi salah satu penyebabnya.
Persoalan tersebut juga tercermin dari Survei Bank Indonesia, yang menyatakan kredit konsumsi terlihat tumbuh melambat dibandingkan kredit untuk penggunaan lain. “Harga tiket pesawat yang masih tinggi, juga beberapa faktor lain menjadi penyebab golongan menengah ke atas menahan untuk konsumsi,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id.
Harga tiket pesawat yang tinggi ini telah terlihat sejak pertengahan tahun lalu. Pesawat merupakan salah satu moda transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat menengah ke atas.
Dengan banyaknya masyarakat yang menunda perjalanan melalui udara, konsumsi masyarakat di sektor transportasi turun. Dampak lanjutannya terhadap sektor pariwisata.
Pada kuartal I 2019, pertumbuhan sektor angkutan udara minus 10,15% secara tahunan. Ini merupakan pertama kalinya sektor angkutan udara mengalami kontraksi.
Padahal, angkutan udara sejak tahun 2015 menjadi sektor yang selalu tumbuh double digit. Perlambatan mulai terjadi sejak kuartal II dan III tahun lalu bersamaan dengan gejolak mahalnya tiket pesawat. Alhasil, kondisi tersebut turut berperan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Faktor lain yang mengerem laju ekonomi awal tahun ini adalah perlambatan investasi. Pertumbuhan investasi pada kuartal I hanya 5,03%, yang berarti di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini baru pertama kali terjadi sejak kuartal I 2017.
Padahal, pada kuartal-kuartal sebelumnya, pertumbuhan investasi selalu di atas rata-rata dan pernah menyentuh 7,94% pada kuartal I 2018. Investasi menjadi salah satu juru selamat saat konsumsi rumah tangga --yang menjadi motor utama perekonomian-- tumbuh melambat.
Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang kuartal I 2019, realisasi investasi tercatat Rp 195,1 triliun dan tumbuh 5,3% dibanding periode sama tahun lalu. Pertumbuhannya jauh lebih rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 11,8%.
Perlambatan ini akibat penurunan investasi asing sebesar 0,9 % secara tahunan. Di sisi lain, investasi domestik tumbuh 14,1%, tapi secara nominal lebih kecil daripada investasi asing.
Investasi kuartal I 2019 masih ditopang oleh sektor konstruksi yang berasal dari investasi domestik yang mencapai Rp 19,2 triliun. Sementara itu, penyaluran investasi asing terbesar pada sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi senilai US$ 1,6 miliar.
Salah satu penyebab melambatnya arus investasi khususnya investasi asing pada awal 2019 adalah investor bersikap wait and see terkait Pemilu 2019. Sejumlah investor masih menunggu hasil final pemilu, khususnya Pemilihan Presiden. Hal ini terkait erat dengan kebijakan jangka panjang yang akan ditempuh oleh masing-masing pasangan calon.
Namun, Ekonom CORE Piter Abdullah menilai, melambatnya investasi ini bukan semata-mata akibat menunggu hasil pemilu. Berbagai regulasi dan kebijakan terkait investasi ini juga masih menjadi penghambat.
Koordinasi antara pusat dan daerah menjadi salah satu persoalan di bidang investasi. Kebijakan Online Single Submission (OSS) yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk memudahkan masuknya investasi, masih terkendala perbedaan pencatatan di daerah sebagai pemangku kebijakan tingkat mikro.
“Pemerintah harus mencari jalan keluar terkait kebijakan ini agar arus investasi dapat masuk dan kembali menggenjot ekonomi dalam negeri,” kata Piter.
Dengan tertahannya dua motor utama tersebut, otomatis laju ekonomi pada kuartal I 2019 hanya ditopang oleh kenaikan pengeluaran pada Lembaga Non Profit Melayani Rumah Tangga (LNPRT) yang mencapai 16,93%.
Perdagangan internasional juga belum menunjukkan hasil menggembirakan sejak beberapa kuartal terakhir. Penurunan ekspor memaksa Indonesia mengalami defisit pada kuartal I 2019.
Jika mengacu target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan dalam APBN sebesar 5,3%, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk merealisasikannya. Meski sejak 2015, realisasi pertumbuhan ekonomi selalu meleset dari target.
Harapan terbuka lebar pada kuartal II 2019, yakni momentum pasca pemilu dan diikuti Bulan Ramadan serta Idul Fitri seharusnya bisa menumbuhkan investasi sekaligus menaikkan konsumsi rumah tangga. Dua motor penggerak utama tersebut diharapkan dapat mengerek laju ekonomi.
Berkaca pada kuartal I yang hanya tumbuh 5,07%, untuk mencetak pertumbuhan 5,3% di akhir tahun nanti setidaknya ada dua kuartal ke depan yang harus mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,4% atau 5,5%. Kuartal II ini menjadi salah satu momen yang diharapkan dapat mempercepat laju ekonomi.
Selain mengharapkan berkah dari momen Ramadan dan Idul Fitri, pemerintah perlu melakukan terobosan kebijakan terkait investasi dan sektor-sektor utama penggerak ekonomi. Misalnya, kebijakan investasi di sektor industri pengolahan dan pertanian sebagai penghasil barang ekspor.
Jika pada kuartal II ini pertumbuhan ekonomi tidak melaju lebih cepat atau bahkan melambat dibanding kuartal I, pemerintah akan sulit mengejar target pertumbuhan pada dua kuartal tersisa tahun 2019. Secara historis, kuartal II biasanya menjadi kuartal dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun tersebut.
***