ASEAN Power Grid dalam Era Energi Terbarukan
ASEAN Power Grid (APG) merupakan inisiatif untuk membentuk sistem jaringan terintegrasi di antara negara-negara anggota ASEAN. Tujuannya sebagai sarana mencapai net zero emission dengan memfasilitasi implementasi kebijakan peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan di seluruh negara anggota.
Secara khusus, APG diharapkan mampu membantu implementasi kebijakan untuk mencapai bauran energi terbarukan nasional di negara anggota hingga 35% pada 2025. Kesepakatan kerja sama perdagangan listrik lintas batas negara tersebut ditandatangani dalam ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) ke-41 dan ASEAN Energy Business Forum (AEBF) pada 25 Agustus 2023 lalu.
Terdapat 18 potensi interkoneksi lintas batas yang diperkirakan memiliki kapasitas sebesar 33 GW pada tahun 2040, termasuk interkoneksi listrik perbatasan Indonesia-Malaysia. Interkoneksi lintas batas Indonesia-Malaysia ini melibatkan pembangunan jalur transmisi 275 kilovolt yang menghubungkan Sarawak di Malaysia dengan Kalimantan Barat di Indonesia.
Dalam rangka mendukung APG, Indonesia akan memulai proyek Nusantara Grid pada 2025. Proyek ini akan menghubungkan jaringan tenaga listrik di antara pulau-pulau di Indonesia dengan mengoptimalkan energi terbarukan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Panjang jaringan ini terdiri dari 47.723 km transmisi dan 446.908 km untuk distribusi tenaga listrik.
Jaringan nasional ini memungkinkan peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan untuk Indonesia. Selain itu, Indonesia akan menginisiasi pengembangan interkoneksi jaringan tenaga listrik dengan beberapa negara anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP).
Sedangkan negara anggota ASEAN lainnya, seperti Malaysia juga telah menyelesaikan perjanjian yang disebut Energy Purchase and Wheeling Agreement (EPWA) dengan Laos dan Thailand. Melalui perjanjian ini, Malaysia dapat mengambil maksimal 100 MW tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga air di Laos dan memanfaatkan jaringan transmisi yang ada di Thailand.
Upaya ini memungkinkan Malaysia untuk ikut berkontribusi dalam meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi keseluruhan negara. Lebih lanjut, jaringan listrik ini juga disuplai ke Singapura, sehingga proyek ini melibatkan Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura (LTMS).
Namun, untuk membangun jaringan energi listrik terbarukan yang terhubung di wilayah, ASEAN memerlukan dana lebih dari US$200 miliar hingga 2050, dan biaya tersebut hanya untuk transmisi. Sementara itu, pemasangan jalur tegangan tinggi di bawah laut cukup mahal.
Energy Transition Partnership (ETP) telah sepakat dalam berkomitmen dan memberikan donor untuk mendukung APG melalui ASEAN Center for Energy. Kerja sama ini memastikan iklim investasi yang menarik, seperti tingkat pengembalian modal yang diperlukan masing-masing negara anggota ASEAN.
Selain itu, untuk mengakomodasi penetrasi sumber energi terbarukan ke dalam sistem tenaga listrik tradisional dan memasok ke daerah permintaan merupakan hal yang cukup rumit. Karakteristik energi terbarukan akan memerlukan sistem yang lebih adaptif dan canggih. Memastikan pasokan listrik energi terbarukan ke daerah permintaan memerlukan transformasi fundamental dari infrastruktur energi.
Di samping itu, peralihan jaringan cerdas (smart grid) ini melibatkan penggunaan teknologi canggih seperti sistem penyimpanan energi, mekanisme respons permintaan, dan algoritma manajemen jaringan yang canggih.
Terdapat juga perbedaan prioritas kebijakan energi dari masing-masing negara anggota ASEAN dengan struktur pasar yang berbeda. Integrasi kebijakan dan perencanaan energi di ASEAN masih dalam tahap awal dan diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengintegrasikannya. Perbedaan lokasi secara geografis antara negara anggota ASEAN juga menjadi tantangan dalam pengembangan APG.
Dalam merealisasikan proyek BIMP, tantangannya tentu berbeda dengan proyek LTMS karena proyek LTMS merupakan saluran darat, sedangkan untuk BIMP, beberapa harus dihubungkan dengan kabel bawah laut, terutama untuk Filipina, yang terpisah oleh laut.
Ketergantungan yang tinggi dari negara anggota ASEAN pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara, juga menjadi tantangan. Berdasarkan ASEAN Centre for Energy, total pasokan energi primer akan mengalami pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 4,7% sejak tahun 2013.
Hal ini berarti bahwa elektrifikasi di wilayah ASEAN diperkirakan akan dipenuhi oleh pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU. ASEAN mempertahankan surplus dalam ekspor energi karena produksi batu bara yang signifikan, melebihi konsumsi domestik wilayah tersebut. Peningkatan produksi batu bara di wilayah ASEAN diprediksi akan terus berlanjut untuk memenuhi kebutuhan energi.
APG memiliki potensi untuk menjamin akses listrik yang dapat diandalkan ke berbagai wilayah. Kerja sama yang luas dan kolaborasi di antara negara anggota ASEAN adalah solusi efektif untuk mengimplementasikan jaringan secara komprehensif.
Jika dilaksanakan dengan efektif, APG memiliki dampak yang tidak hanya untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, tetapi juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peluang perdagangan yang lebih besar di antara negara-negara ASEAN. APG juga dapat merangsang perkembangan pasar energi yang berkembang di wilayah, mendorong investasi, dan keberlanjutan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.