Membangun Ekowisata Berkelanjutan di Lahan Bekas Tambang

Fitria Nurhayati
Oleh Fitria Nurhayati - Tim Riset dan Publikasi
16 Desember 2020, 19:38
Hutan Mangrove
HKm Gempa 01

Sejumlah lubang menyerupai danau tersebar sejauh mata memandang di bumi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Lubang-lubang menganga itu adalah bekas galian pertambangan timah. Konon, tanah di Bangka Belitung  kaya mineral timah dan sudah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 . Maka benar adanya tatkala Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles pada 1812 berkata, “Inilah tempat timah terkaya yang tidak ada bandingannya di dunia. Seluruh pulaunya (Bangka Belitung) akan menjadi tambang timah terbesar.”

Sejak saat itu, Bangka Belitung menjadi penghasil timah terbaik di dunia. Sejumlah negara menggantungkan pasokan timah dan membawa nama Bangka Belitung di peta sebagai penghasil timah terbesar.

Namun, sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 146 Tahun 1999 disusul Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, pemerintah tidak lagi menggolongkan timah dalam komoditas strategis. Maka, masyarakat pun berlomba menambang timah. Tak peduli merusak lingkungan, dari daratan sampai pesisir tidak luput jadi wilayah galian.

Meski bukan lagi komoditas strategis, timah masih dianggap  sebagai komoditas yang mudah menghasilkan pundi-pundi uang. Ini terlihat dari jajak pendapat dari 69 persen responden di Bangka dan 63 persen di Belitung dalam buku Ekonomi Politik Sumber Daya Timah [Kronik Bangka Belitung] pada 2018. Mereka sangat setuju ekonomi Bangka Belitung sangat bergantung pada komoditas timah. Ditambah, data Produk Domestik Regional Bruto komoditas timah pada 2019 menyumbang 40 persen dari total Pendapatan Asli Daerah  (PAD) provinsi Bangka Belitung.  

Namun belakangan, pemerintah daerah menyadari, pendapatan ekonomi bukan segalanya. Terutama apabila hasil yang didapat harus ditukar dengan kerusakan lingkungan. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kep. Bangka Belitung, Marwan, Babel harus punya sektor unggulan ramah lingkungan supaya tidak lagi bergantung pada pertambangan.  

Area wisata mangrove
Area wisata mangrove (HKm Gempa 01)

Pemerintah daerah kemudian berkolaborasi dengan masyarakat dalam memperbaiki kondisi lingkungan lewat program Perhutanan Sosial. Strategi supaya masyarakat mau mengubah kebiasaan dari penambang jadi pengelola lingkungan.

Persiapan menuju penerapan program Perhutanan Sosial di Kepulauan Bangka Belitung dimulai sejak 2010. Implementasi program baru terjadi pada 2014. Proses kurang lebih tiga tahun difokuskan pada penyuluhan dan penyadaran masyarakat.

Tidak mudah mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat yang sudah terbiasa menambang. Dengan menambang, masyarakat terbiasa mendapatkan uang pada hari yang sama dengan mereka bekerja, sedangkan mengelola hutan dan lingkungan sembari mengambil manfaat ekonomi darinya butuh waktu cukup panjang.

Dalam prosesnya, pemerintah menemukan masih banyak masyarakat yang mau menyelamatkan lingkungan. “Pemerintah memberikan akses legal, mengelola dan memanfaatkan hutan lewat program Perhutanan Sosial. Biar mereka yang menjaga, pemerintah tinggal memberikan support,” ujar Marwan.

Hutan Kemasyarakatan, Memperbaiki Lingkungan Sekaligus Meraup Keuntungan

Sejak program Perhutanan Sosial, khususnya skema Hutan Kemasyaratan (HKm) diterapkan, sejumlah kawasan bekas tambang direhabilitasi dan dikembangkan menjadi ekowisata. Sejalan dengan pernyataan Kepala Seksi Penyuluhan dan pemberdayaan Masyarakat Dinas Kehutanan Kep. Bangka Belitung Oktedy yang menyebutkan, 70 persen HKm memanfaatkan jasa lingkungan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...