Masih Dini, Koalisi Indonesia Bersatu Berpotensi Bubar di Tengah Jalan
Dinamika politik menjelang tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mulai mengerucut pada pembentukan koalisi. Sejauh ini, sudah ada tiga partai yang memutuskan untuk bekerja sama dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Partai tersebut adalah Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meski telah mendeklarasikan diri bergabung agar dapat mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), koalisi tersebut dinilai terlalu prematur, karena tak terbentuk pada masa injury time menjelang pendaftaran. Sebagaimana diketahui, masa pendaftaran kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) baru dapat dilakukan pada 19 Oktober hingga 25 November 2023, sehingga masih ada waktu lebih dari satu tahun untuk mempersiapkannya.
Masih lamanya waktu yang tersisa sebelum pembukaan pendaftaran capres-cawapres, dinilai Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, memperbesar risiko bubarnya sebuah koalisi. Hal ini disebabkan dinamika politik yang cepat berubah.
Dia menjelaskan, setidaknya terdapat tiga hal penting yang dapat mempengaruhi daya tahan atau soliditas dari koalisi yang sudah terbentuk, seperti KIB. Pertama, keterbukaan terhadap power sharing atau pembagian kekuasaan di antara partai-partai yang berkoalisi. Menurutnya, pembagian kekuasaan ini menjadi hal yang sensitif, dan pada akhirnya mesti diputuskan secara adil.
“Kalau lebih terbuka dan fair, diprediksi koalisinya akan lebih solid. Tapi kalau tidak, diprediksi akan gampang bubar,” kata Arya dalam Media Briefing Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi pada Rabu (8/6).
Kedua, kemampuan mengusung pasangan capres-cawapres potensial juga menjadi kunci yang mempengaruhi soliditas koalisi. Jika pasangan yang diusung tak memiliki potensi besar memenangi Pilpres, maka kemungkinan akan ada tarikan dari eksternal untuk berpindah ke koalisi lain. Terutama dari mereka yang dianggap mampu mengusung calon dengan potensi lebih besar untuk menang.
Ketiga, soliditas dari koalisi juga dipengaruhi kemampuan merepresentasikan preferensi pemilih, ketika memutuskan untuk bergabung dengan koalisi lain. “Kalau tidak bisa membaca arah pemilih partai, tentu akan berpengaruh kepada dukungan pemilih partai tersebut,” jelasnya.
Munculnya koalisi dini yang sudah terbentuk jauh-jauh hari sebelum masa injury time, menurut Arya akan menjadi salah satu tren dalam dinamika politik menuju Pemilu mendatang. Hal itu disebabkan banyaknya kandidat yang relatif potensial untuk dicalonkan oleh partai politik.
“Jadi parpol (partai politik) punya banyak pilihan untuk mencalonkan kira-kira siapa yang akan mereka dukung dalam kontestasi Pilpres mendatang,” kata Arya.
Tak hanya koalisi dini, Arya juga memprediksikan dua hal lain yang akan menjadi tren dalam Pemilu mendatang. Pertama, peta koalisi yang akan sangat dipengaruhi oleh pimpinan atau elit partai. Padahal pada Pemilu sebelumnya, faktor kandidat capres-cawapres merupakan faktor yang paling mempengaruhi.
Selanjutnya, soliditas koalisi diprediksi akan bergantung pada hasil Pemilihan Legislatif (Pileg). Hal itu disebabkan hasil Pileg yang dianggap akan mempengaruhi peta pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang.
Sementara terkait dengan pelaksanaan Pilpres 2024 nanti, Arya menduga pelaksanaannya akan berlangsung dalam dua putaran, jika melihat persaingan ketat pada elektabilitas tiga figur populer yang dijagokan menjadi capres. Hal ini mengacu kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Alasan kedua, lanjut Arya, berbagai partai politik juga saling menjalin komunikasi, sehingga membuat koalisi menjadi cair. “Partai-partai terbuka untuk bertemu, berkoalisi, baik partai dengan platform yang sama maupun partai lintas platform,” papar dia.
Sementara faktor terakhir yang membuat Pilpres 2024 ia yakini akan berlangsung kompetitif adalah ketiadaan capres petahana.
Terkait dengan pembentukan koalisi, dasar untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres adalah perolehan kursi di DPR. Hal ini sesuai dengan aturan presidential treshold.