Fenomena Vote Buying Membayangi Pemilu di Indonesia
Maraknya fenomena vote buying atau pembelian suara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, mendapatkan perhatian dari Peneliti Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), Ward Berenschot. Berdasarkan data yang diperolehnya, vote buying di Indonesia berada pada urutan tertinggi ketiga di dunia.
“Tingkat korupsi terjadi begitu tinggi di Indonesia. Salah satu bukti adalah adanya ‘serangan fajar’ pada Pemilu sudah sangat umum terjadi,” kata Berenschot dalam diskusi bertajuk “Pemilu 2024, Pertaruhan Demokrasi di Indonesia” Kamis (23/6).
Berenschot khawatir, tingginya praktik vote buying pada akhirnya akan berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa penyebab dari fenomena vote buying di Indonesia, yaitu maraknya oknum dalam kegiatan Pemilu, budaya personal yang buruk, serta sistem buruk. Kondisi ini semakin membuka peluang untuk melakukan praktik tersebut.
Dia menjelaskan, salah satu faktor pemicu yang membuat praktik ini langgeng, adalah besarnya anggaran untuk kegiatan kampanye dalam kontestasi demokrasi. Hal ini pada akhirnya mendorong para peserta melakukan segala cara untuk menang, termasuk memberikan ‘serangan fajar’, sehingga membuat modal politik menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
Imbasnya, setelah memenangkan Pemilu, para pemimpin cenderung terdorong untuk menerbitkan beragam aturan yang condong kepada pihak-pihak pendukungnya selama kampanye.
“Utang budi dalam relasi sosial menjadi lebih penting ketimbang menegakkan institusi negara dan peraturan,” ujar Berenschot.
Sementara dari pihak pemilih, Berenschot menjelaskan bahwa mereka cenderung memilih untuk bersikap menerima tawaran yang dijanjikan para peserta Pemilu selama masa kampanye.
“Pemilih memilih insentif berperilaku klientalistik dan meminta serangan fajar,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Berenschot mengusulkan perbaikan dengan mekanisme Smart Reform atau reformasi cerdas. Smart Reform dapat dilakukan dengan menganalisis dan mengubah struktur insentif yang dihadapi para politisi.
Salah satu caranya adalah dengan memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), untuk mengurangi fenomena vote buying. Kemudian para ahli politik dapat diberi tugas untuk membuat proposal reformasi sistem Pemilu. Upaya-upaya tersebut dinilai Berenschot dapat mengurangi fenomena vote buying dengan meminimalisir biaya kampanye.
“Reformasi sistem pemilu dapat membuat kampanye pemilu lebih murah,” ungkapnya.
Terkait dengan Pemilu, Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyampaikan bahwa Indonesia akan mengalami masa paling kritis dalam demokrasi pasca-Pemilu. Masa kritis tersebut diprediksinya akan terjadi pada 2024 hingga 2025.
Oleh sebab itu, dia menyampaikan agar masyarakat dapat mengawal proses demokrasi sehingga tetap mencerminkan interaksi gagasan untuk mengatasi berbagai permasalah krusial bangsa
“Jadi Pemilu sebaiknya tidak melulu berbicara terkait koalisi parpol (partai politik), quick count, dan sebagainya,” katanya.
Adapun masalah-masalah krusial yang menurutnya harus segera diatasi, di antaranya ketimpangan ekonomi, kesenjangan lahan, oligarki, politik uang, korupsi dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta represi terhadap ruang kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil.