Pesan Bos IMF Kepada G20 untuk Cegah Resesi

Aryo Widhy Wicaksono
15 Juli 2022, 14:43
International Monetary Fund (IMF)
123rf/maksym yemelyanov
International Monetary Fund (IMF)

Risiko terjadinya resesi global meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir, dan membuat prospek ekonomi semakin suram pada masa mendatang.

Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva dalam sebuah blog yang dipublikasikan Rabu (13/7) lalu mengungkapkan, perang di Ukraina telah menciptakan gejolak harga komoditas, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk krisis terhadap biaya hidup ratusan juta orang.

Inflasi juga lebih tinggi dari yang diprediksi sebelumnya. Akibatnya, indikator terbaru menyiratkan pertumbuhan ekonomi akan lemah pada kuartal kedua.

"Ini akan menjadi 2022 yang sulit, dan mungkin 2023 lebih sulit dengan peningkatan risiko resesi," tulis Georgieva, Rabu (13/7).

Apa yang Dapat Dilakukan?

Menurut ada tiga prioritas yang dapat dilakukan untuk mengembalikan jalur pertumbuhan ekonomi global:

  1. Tegas menurunkan inflasi
  2. Lindungi yang rentan dengan dukungan yang ditargetkan dan netral anggaran
  3. Meningkatkan kerjasama global, khususnya untuk mengatasi krisis pangan.
  • Negara harus bertindak tegas untuk menurunkan inflasi.

Menurutnya, jika inflasi terus-menerus pada posisi tinggi, berpotensi merusak upaya pemulihan dan standar hidup, terutama untuk kalangan rentan. Pada banyak negara, inflasti telah mencapai titik tertinggi dalam beberapa dekader terakhir.

Kondisi ini memicu siklus pengetatan moneter dengan 75 bank sentral telah menaikkan suku bunga sejak Juli 2021. Jumlah ini mencapai tiga perempat dari bank sentral yang terdata. rata-rata, mereka telah melakukannya 3,8 kali.

“Sebagian besar bank sentral perlu terus memperketat kebijakan moneter secara tegas. Ini sangat mendesak di mana ekspektasi inflasi mulai tak terjangkar," kata Georgieva.

BILATERAL INDONESIA-IMF
BILATERAL INDONESIA-IMF (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Tanpa tindakan bank sentral, menurut dia, negara-negara tersebut dapat memperburuk wage-price spiral alias spiral harga upah. Ini merupakan istilh yang dipakai untuk menjelaskan hubungan sebab akibat dari kenaikan harga atau inflasi dengan kenaikan pada upah pekerja.

Menurut dia, bank sentral perlu memperketat kebijakannya lebih agresif jika inflasi masih terus memanas. Dengan pengetatan yang berlanjut tersebut maka bisa melukai pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.

Mantan CEO Bank Dunia ini juga memperingatkan, bahwa gangguan terhadap pasokan gas alam ke Eropa dapat menjerumuskan lebih banyak perekonomian ke dalam resesi.

Menyitir Reuters, Georgieva mengatakan bahwa IMF akan mengkalkulasi ulang perkiraan sebelumnya mengenai proyeksi pertumbuhan 3,6% pada 2022.

Dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9% dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,1%. Bank Dunia menilai invasi Rusia ke Ukraina memperparah perlambatan ekonomi global, yang notabene belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19.

  • Lindungi yang rentan dengan dukungan yang ditargetkan dan netral anggaran.

Negara-negara yang menghadapi tingkat utang tinggi juga perlu memperketat kebijakan fiskal mereka. Hal ini dinilai Georgieva dapat membantu mengurangi beban pinjaman yang semakin tinggi.

Bos IMF juga mendesak agar kebijakan baru ini harus netral anggaran, dengan sumber pendanaan melalui pendapatan baru atau pengurangan pengeluaran pada sektor lain, tanpa menimbulkan utang baru sekaligus menghindari bekerja melawan kebijakan moneter.

Di sisi lain, dia juga mendorong Cina dan negara-negara G20 lainnya untuk mempercepat langkah pengurangan utang bagi negara-negara miskin yang mulai kesulitan membayar. Lembaga ini memperingatkan risiko besar yang mengintai jika Cina dan negara-negara kreditor tak juga bergerak.

Georgieva mengatakan pentingnya untuk memulai Kerangka Kerja Bersama pengurangan utang yang diadopsi oleh G20 dan kreditur resmi Klub Paris pada Oktober 2020. Kesepakatan tersebut hingga kini belum memberikan hasil.

Georgieva mengatakan, hampir sepertiga dari negara-negara pasar berkembang dan dua kali lipat proporsi negara-negara berpenghasilan rendah berada dalam kesulitan utang. Situasi mereka pun semakin memburuk karena ekonomi negara maju mulai menaikkan suku bunga.

"Arus keluar modal dari pasar negara berkembang terus berlanjut dan hampir satu dari tiga negara ini sekarang memiliki suku bunga 10% atau lebih tinggi," ucapnya.

Meningkatkan kerja sama global melalui kepemimpinan G20, khususnya untuk mengatasi krisis pangan.

Dalam pembicaraan sepekan ini, Georgieva juga menyinggung mengenai kekhawatiran terhadap pasokan pangan dan energi yang meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial.

Menurutnya untuk mencegah kekurangan pangan, gizi, dan migrasi, negara-negara kaya harus memberikan dukungan mendesak bagi mereka yang membutuhkan melalui pendanaan bilateral dan multilateral baru, serta membalikkan pembatasan baru-baru ini pada ekspor makanan.

Untuk menghindari potensi krisis dan mendorong pertumbuhan dan produktivitas, tindakan internasional yang lebih terkoordinasi sangat dibutuhkan.

"Kuncinya adalah membangun kemajuan terkini di berbagai bidang, mulai dari perpajakan dan perdagangan, hingga kesiapsiagaan pandemi dan perubahan iklim," jelasnya.

Dana G20 sebesar USD 1,1 miliar atau sekitar Rp16,5 triliun Dana Perantara Keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF) untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi, dapat menjadi contoh baik.

Georgieva menegaskan, bahwa IMF juga akan membantu. "Kami bekerja sama dengan mitra internasional kami, termasuk melalui inisiatif ketahanan pangan multilateral baru."

Melalui Resilience and Sustainability Trust IMF akan menyediakan USD 45 miliar dalam bentuk pembiayaan lunak untuk negara-negara yang rentan. Dana ini, bertujuan mengatasi tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim dan pandemi di masa depan. "Dan kami siap untuk berbuat lebih banyak," ujarnya.

Bagaimana Kondisi Indonesia?

Survei terbaru yang digelar Bloomberg menunjukkan 15 negara yang memiliki risiko mengalami resesi ekonomi akibat inflasi tinggi. Sri Lanka berada diurutan paling atas sebagai negara yang dianggap sangat mungkin mengalami resesi dengan probabilitas hingga 85%.

Indonesia pun tak luput dari daftar tersebut, tetapi berada di urutan dua dari bawah dengan probabilitas 3%.  

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, ada sejumlah indikator yang menunjukkan masih kuatnya perekonomian domestik sehingga risiko resesi pun terbilang rendah dibandingkan negara lain di kawasan Asia-Pasifik.

Indikator tersebut, antara lain ditunjukkan oleh kondisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga, kebijakan moneter, kondisi APBN, serta kondisi rumah tangga dan korporasi.  "Indonesia dalam survei Bloomberg ada di ujung bawah, ini menggambarkan indikator neraca pembayaran, APBN, ketahanan dari PDB kita dan juga dari sisi korporasi maupun rumah tangga," kata dia di Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7).

PERTEMUAN MENTERI KEUANGAN G20
PERTEMUAN MENTERI KEUANGAN G20 (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/hp.)

Pada assesmen terakhir IMF dalam Article IV Maret pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menapai 5,4%. Angka ini lebih rendah dari prediksi Januari sebesar 5,6%. Sementara asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 6%.

Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih tinggi dari tahun lalu sebesar 3,7%. Sementara, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi tahun depan pada rentang 5,3%-5,9%, sebagaimana tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.

"Kami prediksikan untuk pertumbuhan tahun ini masih di rentang 4,9% hingga 5,4%. Tentu ini didukung konsumsi masyarakat yang akan terus pulih," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Jumat (1/7) dua pekan lalu.

Pemulihan yang berlanjut ini didukung mobilitas masyarakat yang meningkat, dengan perbaikan pada kinerja impor sehingga memberikan sinyal ekonomi domestik semakin bergeliat. Sektor produksi pun membaik, terindikasi dari meningkatnya konsumsi listrik.

Sementara dari sisi fiskal, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuannya di level 3,5% selama lebih dari setahun terakhir. Namun, dalam beberapa komentar belakangan, BI mulai memberi sinyal akan adanya kenaikan suku bunga acuan. 

"BI akan tetap waspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi, dan siap untuk menyesuaikan suku bunga jika ada tanda-tanda inflasi inti yang lebih tinggi terdeteksi," kata Deputi Gubernur BI Juda Agung dalam acara side event G20 Jalur Keuangan-Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery, Rabu (13/7).

BI menjadi hanya salah satu dari beberapa bank sentral dunia yang masih menahan suku bunga acuannya. Di kawasan, Indonesia dan Thailand masih menahan suku bunga, beberapa lainnya seperti Singapura sudah sejak akhir tahun memperketat kebijakan moneternya, Malaysia dan Filipina bahkan sudah dua kali menaikkan bunganya.

Reporter: Abdul Azis Said

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...