Surplus Perdagangan Menciut Akibat Lonjakan Impor Minyak Mentah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada bulan Oktober 2017 sebesar US$ 900 juta. Angka itu merosot jika dibandingkan surplus yang mencapai US$ 1,7 miliar pada September 2017.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, penyusutan surplus ini diakibatkan oleh kenaikan impor sebesar 11% menjadi US$ 14,1 miliar secara month to month. Sementara angka ekspor Oktober 2017 hanya tumbuh 3,6% menjadi US$ 15 miliar dibanding September 2017.
Jika dirinci, kenaikan tertinggi pada bulan lalu terjadi pada impor migas yakni sebesar 13,9% menjadi US$ 2,2 miliar. Adapun impor non migas tumbuh 10,5% menjadi US$ 11,9 miliar pada periode yang sama.
"Naiknya lumayan tinggi, baik migas maupun non migas," kata Suhariyanto saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/11). (Baca juga: Biaya Transaksi Perdagangan ASEAN Turun 10% pada 2020)
Impor non migas bulan lalu, menurut Suhariyanto, masih ditopang oleh mesin dan pesawat mekanik sebesar US$ 1,9 miliar, plastik dan barang dari plastik sebesar US$ 700,2 juta, serta besi dan baja sebesar US$ 820 juta. Adapun impor migas disumbang oleh minyak mentah senilai US$ 776 juta atau naik 43,4% secara month to month.
Adapun untuk ekspor non migas pada bulan Oktober, bahan bakar mineral masih menjadi penopang utamanya dengan nilai US$ 1,9 miliar disusul oleh mesin atau peralatan listrik sebesar US$ 732,1 juta, dan kendaraan senilai US$ 627,8 juta.
"Untuk impor 75,8% impor kita merupakan impor bahan baku untuk industri," kata Suhariyanto.
Tiongkok masih menyumbang impor paling besar pada Oktober yakni sebesar US$ 3,1 miliar. Perdagangan Indonesia dengan Tiongkok pada bulan lalu tercatat defisit sebesar US$ 836,8 juta. Negara pengimpor besar lainnya adalah Jepang dengan impor senilai US$ 1,4 miliar. (Baca juga: ASEAN – Jepang Sepakati Protokol perlindungan Investasi)
"Sedangkan surplus kita dari India, Amerika Serikat, serta Belanda," ujar Suhariyanto.
Sedangkan menurut asal provinsinya, Jawa Barat menjadi penyumbang ekspor terbesar dengan nilai US$ 24,1 miliar disusul dengan Jawa Timur senilai US$ 15,1 miliar, Kalimantan Timur senilai US$ 14,4 miliar, serta Riau dengan nilai US$ 13,3 miliar.
"Kalau Jawa Barat ditopang kendaraan serta mesin dan peralatan listrik. Kalau Kalimantan Timur itu batubara dan Crude Palm Oil (CPO)," kata Suhariyanto.