Nielsen: Pembaca Media Digital Sudah Lampaui Media Cetak
Nielsen Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia, saat ini pembaca media digital sudah lebih banyak ketimbang media cetak. Jumlah pembeli koran terus merosot dalam empat tahun terakhir karena masyarakat beranggapan bahwa informasi seharusnya bisa didapat secara gratis.
Survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyatakan, kebiasaan membaca orang Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%.
Masyarakat cenderung membaca koran di kantor, sekolah, dan perpustakaan, sehingga tak perlu mengeluarkan biaya. "Orang-orang teredukasi bahwa media itu gratis," kata Direktur Eksekutif Nielsen Media Indonesia Hellen Katherina di Mayapada Tower, Jakarta, Rabu (6/12).
Menurut Hellen, anggapan bahwa media harus gratis mengerek tingkat penetrasi media digital hingga 11% dengan jumlah pembaca 6 juta orang pada tahun ini. Jauh lebih banyak dibanding pembaca media cetak sebanyak 4,5 juta orang. Padahal, jumlah pembaca media cetak pada 2013 bisa mencapai 9,5 juta orang. Sementara, jumlah pembaca media cetak sekaligus digital hanya 1,1 juta orang.
(Baca juga: Konten, Waktu hingga Media, Kunci Cuitan Viral di Twitter)
Selain itu, media cetak hanya menjadi pilihan kelima masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan penetrasi sebesar 8%. Sementara, urutan pertama ditempati televisi dengan 96%, kemudian diikuti papan iklan di jalanan 52%, penggunaan internet sebesar 43%, dan radio sebanyak 37%.
Untuk penetrasi media cetak, masyarakat memilih koran dengan dengan porsi 83%, tabloid 17%, dan majalah 15%. Survei Nielsen dilakukan di 11 kota dengan mewawancarai 17 ribu responden dan mencapai populasi sebanyak 54 juta orang.
Masyarakat yang membaca media cetak pun didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%. Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya.
Sebaliknya, sebanyak 17% anak muda berusia 10-19 memperoleh informasi lewat internet. Untuk pembaca berusia 20-49 tahun jumlahnya sebesar 80%.
Artinya, media harus mulai mempertimbangkan digitalisasi untuk menarik generasi z (10-19 tahun). "Mereka adalah konsumen penting di masa depan," kata Helen.
Apalagi, Nielsen juga menemukkan bahwa 36% pembaca media cetak adalah pemimpin perusahaan atau birokrat mapan. Dengan jumlah pengeluaran yang lebih tinggi daripada masyarakat biasa, mereka punya tendensi untuk beralih ke media digital. "Pembaca media cetak adalah orang-orang yang sudah biasa dengan internet," kata Hellen lagi.
(Baca juga: Gelontorkan Rp 1,2 Triliun, Meikarta Jadi Pengiklan Terbesar Tahun Ini)
Tak hanya jumlah pembaca, pengeluaran iklan untuk media cetak pun berkurang. Pada Januari-September 2017, jumlah belanja iklan media cetak Rp 21,8 triliun, berkurang 13% dibanding periode yang sama pada 2013 yakni Rp 25 triliun.
Selain itu, produsen media cetak juga berkurang sebesar 23%. Nielsen mencatat ada 268 media cetak pada 2013, namun merosot tajam menjadi hanya 192 media pada 2017.
Namun, angka itu dipengaruhi oleh penurunan jumlah produsen tabloid dan majalah yang berkurang sebanyak 92 unit, hanya 2 produk koran yang menyatakan gulung tikar.
Lalu apakah ini berarti media cetak telah benar-benar memasuki senja kala di Indonesia? Nielsen menemukan media cetak masih lebih populer dibandingkan media digital di luar Pulau Jawa.
Masyarakat di Medan, Makassar, Palembang masih memilih cetak ketimbang digital. Kemungkinannya, mereka lebih tertarik mengakses berita lokal. "Mungkin juga karena akses internet masih terbatas," ujar Hellen.
Peluang bisnis bagi media cetak tampaknya juga cukup baik karena 2018 merupakan tahun politik sehingga kemungkinan organisasi politik untuk beriklan di media cetak pun semakin tinggi. Selain itu, 56% pembaca media cetak memilih koran dibanding media digital karena tingkat kepercayaannya tinggi.