Dakwaan Setnov Ungkap Aliran Dana e-KTP & Keterlibatan Anggota DPR
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto didakwa merugikan negara sebesar RP 2,3 triliun dalam kasus korupsi proyek pengadaan pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013. Novanto diduga secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Novanto diduga melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dengen menerima uang sejumlah US$ 7,3 juta atau sekitar Rp 99,3 miliar (sesuai kurs saat ini). Uang tersebut diterima melalui Made Oka Masagung sejumlah US$ 3,8 juta dan keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sejumlah US$ 3,5 juta.
"Sehingga total uang yang diterima terdakwa baik melalui Ivanto Hendra Pambudi Cahyo maupun Made Oka Masagung seluruhnya berjumlah US$ 7,3 juta," kata Jaksa Penuntut Umum KPK, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (13/12).
(Baca: Hakim Ketua Berang Hadapi Drama Setnov di Sidang Perdana e-KTP)
Selain itu, Novanto juga menerima pemberian barang berupa satu buah jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga US$ 135 ribu pada medio November 2012. Jam tersebut dibeli oleh Andi Narogong bersama Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Novanto telah membantu proses penganggaran e-KTP.
Novanto pun dianggap memperkaya orang lain, antara lain Irman sebesar Rp 2,3 miliar, US$ 877,7 ribu, dan SGD 6 ribu; Sugiharto sebesar US$ 3.473; Andi Agustinus alias Andi Narogong sejumlah US$ 2,5 juta dan Rp 1,1 miliar; Gamawan Fauzi sejumlah Rp 50 juta, 1 unit Ruko di Grand wijaya, dan sebidang tanah di jalan Brawijaya melalui Asmin Aulia.
Lalu, Diah Anggraeni sejumlah US$ 500 ribu dan Rp 22.5 juta; Drajat Wisnu Setyawan sejumlah US$ 40 ribu dan Rp 25 juta; 6 orang anggota panitia pengadaan barang dan jasa masing-masing sejumlah Rp 10 juta. Kemudian, Johannes Marliem sejumlah US$ 14,88 juta dan Rp 25,2 miliar; Miryam S Haryani sejumlah 1,2 juta; Markus Nari sejumlah US$ 400 ribu; Ade Komarudin sejumlah US$ 100 ribu; M Jafar Hapsah sejumlah US$ 100 ribu.
(Baca: Setnov Membisu dan Mengeluh Diare, Sidang Perdana e-KTP Diskors)
Novanto juga diduga memperkaya beberapa anggota DPR RI periode tahun 2009-2014 sejumlah US$ 12,8 juta dan Rp 44 miliar, Husni Fahmi sejumlah US$ 20 ribu dan Rp 10 juta; Tri Sampurno Rp 2 juta; Yimmy Iskandar Tedjadususila alias Bobby beserta tujuh orang Tim Fatmawati masing-masing Rp 60 juta; Direktur Utama PT LEN Industri Wahyudin Bagenda sejumlah Rp 2 miliar; Abraham Mose, Agus Iswanto, dan Darma Mapangara selaku Direksi PT LEN Industri masing-masing sejumlah Rp 1 miliar dan untuk kepentingan gathering dan SBU sebesar Rp 1 miliar; Mahmud Toha sejumlah Rp 3 juta; dan Charles Sutanto Ekapradja sebesar US$ 800 ribu.
"Serta memperkaya korporasi, yakni Manajemen Bersama Konsorsium PNRI (Rp 137,9 miliar), Perum PNRI (Rp 107,7 miliar), PT Sandipala Artha Putra (145,8 miliar), PT Mega Lestari Unggul (Rp 148,8 miliar), PT LEN Industri (Rp 3,4 miliar), PT Sucofindo (Rp 8,2 miliar), dan PT Quadra Solution (Rp 79 miliar)," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Irene Putri.
Berdasarkan surat dakwaan, keterlibatan Novanto dimulai ketika Irman diajak bertemu dirinya oleh Andi untuk memuluskan proses pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR. Pasalnya, Novanto yang saat itu menjadi anggota DPR RI juga Ketua Fraksi Partai Golkar dianggap sebagai kunci keberhasilan pembahasan anggaran e-KTP.
Pertemuan antara Novanto, Andi, dan Irman tersebut dilakukan pada Februari 2010 pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia juga bersama Sugiharto dan Diah. Dalam pertemuan tersebut Novanto menyampaikan bahwa proyek e-KTP harus dijaga bersama karena program strategis nasional.
"Selain itu terdakwa menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran pekerjaan penerapan KTP elektronik," kata Irene membacakan surat dakwaan.
(Baca juga: Saksi Kasus e-KTP, Istri Setya Novanto Dicegah ke Luar Negeri)
Menindaklanjuti pertemuan itu, Novanto bersama Andi dan Irman kembali melakukan pertemuan beberapa hari kemudian di ruang kerja Novanto di lantai 12 Gedung DPR RI. Mereka membicarakan kepastian kesiapan anggaran untuk e-KTP.
Kemudian Novanto memperkenalkan Andi kepada Wakil Ketua Banggar DPR RI periode 2009-2014 dari Fraksi Demokrat Mirwan Amir. Mirwan kemudian mengarahkan Andi bertemu seorang pengusaha bernama Yusnan Solihin.
Arahan Mirwan ditindaklanjuti Andi dengan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Yusnan, Aditya Suroso, dan Ignatius Mulyono di Tebet Indrayana Square (TIS), Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Yusnan menginginkan dibentuknya perusahaan gabungan untuk menentukan harga barang dalam proyek e-KTP.
Pada akhir April 2010, Novanto memperkenalkan Andi kepada Chairuman Harahap selaku Ketua Komisi II DPR RI di ruang Fraksi Golkar Lantai 12 Gedung DPR RI. Andi kemudian menemui Chairuman di ruang kerjanya untuk menyampaikan keinginannya untuk ikut dalam proyek e-KTP.
"Untuk itu Andi bersedia memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI guna memperlancar pembahasan anggaran," kata Irene.
Pada Mei-Juni 2010, Andi menghadiri rapat bersama Direktur PT Java Trade Utama Johannes Richard Tanjaya dan dan Husni Fahrmi selaku Ketua Tim Teknis yang diadakan oleh Irman di Hotel Sultan. Dalam pertemuan itu Irman meminta Johannes membantu membuat Andi sebagai pihak prinsipal dan mempersiapkan desain proyek e-KTP.
(Baca juga: Berulangkali Jawab Tidak Tahu, Setnov Ditegur Hakim di Sidang e-KTP)
Untuk menindaklanjuti hasil pertemuan itu, Andi menyampaikan akan diadakan pertemuan di rukonya yang beralamat di Graha Mas Fatmawati Blok B No 33-35 Jakarta Selatan. Dalam pertemuan selama 10 bulan, dihasilkan standar operasional prosedur (SOP), struktur organisasi, dan spesifikasi teknis yang kemudian menjadi dasar penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
HPS tersebut disusun dan ditetapkan tanpa melalui survei berdasarkan data harga pasar. Alhasil, terdapat kemahalan harga di dalamnya dengan jumlah Rp18.000,00 per keping KTP.
"Uang selisih kemahalan itulah yang akan diberikan kepada terdakwa dan anggota Komisi II DPR lainnya," kata JPU KPK Ahmad Burhanuddin.
Selain itu, pertemuan di Ruko Fatmawati juga menghasilkan perangkat penunjang, proses verifikasi AFIS, dan harga barang yang akan digunakan dalam pekerjaan Penerapan KTP Elektronik. Konfigurasi spesifikasi teknis dan daftar harga tersebut pada akhirnya dipakai Sugiharto sebagai bahan referensi dalam pembuatan Rencana Kerja dan syarat-syarat (RKS) dan HPS.
Andi bersama Tim Fatmawati juga bersepakat agar proses pelalangan diarahkan memenangkan salah satu dari tiga konsorsium yang akan dibentuk, yakni Konsorsium PNRI, Konsorsium Astragraphia, dan Konsorsium Murakabi.
Konsorsium Murakabi salah satunya diisi oleh PT Murakabi Sejahtera yang dipersiapkan Novanto dan Andi sebagai salah satu perusahaan pendamping proyek e-KTP. Murakabi dimiliki Novanto melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, istrinya Deisti Astriani Tagor, dan anaknya Rheza Herwindo.
Kepemilikan itu dilakukan dengan cara Irvanto membeli saham PT Murakabi Sejahtera milik adik Andi, Vidi Gunawan sehingga dapat menggantikan posisi sebagai Direktur. Selanjutnya Deisti Astriani Tagor dan Rheza Herwindo membeli sebagian besar saham PT Mondialindo Graha Perdana yang merupakan holding dari PT Murakabi Sejatera.
Andi setelahnya melakukan pertemuan dengan Johannes Marliem, Mudji Rahmat Kurniawan, Vidi Gunawan, dan Irvanto bertempat di Cafe Pandor di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Pada pertemuan tersebut Andi menyampaikan informasi dari Irman bahwa baru ada Rp 1 triliun untuk proyek e-KTP tahun 2011-2012.
Padahal, kebutuhan proyek tersebut sebesar Rp 2.6 triliun. Irman pun meminta bantuan kepada Andi untuk menyampaikan hal itu kepada Novanto. Andi kemudian juga menyampaikan bahwa para calon peserta proyek e-KTP bersedia terlebih dahulu memberikan commitment fee sebesar 5% yang diminta oleh DPR RI. Novanto lalu menyetujuinya.
Menindaklanjuti commitment fee tersebut, pada akhir Desember 2011 Chairuman menelepon Irman untuk menagihnya. Irman pun menyampaikan hal tersebut kepada Andi, Paulus, Anang, dan Marliem.
Selanjutnya, keempatnya mengadakan pertemuan di apartemen Pacific Place milik Paulus dan menyepakati pemberian fee sebesar US$ 3,5 juta. Uang tersebut akan direalisasikan melalui Anang yang dananya diambil dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia. Kemudian, uang tersebut akan ditransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura dan setelahnya diserahkan kepada Novanto.
Untuk itu Marliem akan mengirimkan beberapa invoice kepada Anang sebagai dasar untuk pengiriman uang. Sehingga seolah-olah pengiriman uang tersebut merupakan pembayaran PT Quadra solution kepada Biomorf Mauritius atau PT Biomorf Lone Indonesia. Selain itu Anang juga melakukan pertemuan dengan Marliem dan Sugiharto guna membahas jumlah fee yang akan diberikan kepada Novanto yang rencananya akan diberikan sejumlah Rp 100 miliar.
"Namun jika tidak memungkinkan hanya akan diberikan sejumlah Rp 70 miliar," kata JPU KPK Eva Yustisiana.
Atas perbuatannya, Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.