Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo
Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati pengesahan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3), Senin (12/2). Pengesahan undang-undang yang dianggap antikritik ini mendapat dukungan partai-partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo maupun fraksi oposisi yang dipimpin Gerindra dengan Ketua Umumnya Prabowo.
Pengesahan UU MD3 ini menuai kritik karena memiliki beberapa pasal kontroversial. Pasal-pasal kontroversial ini memberikan kewenangan terhadap DPR dalam tiga hal yakni kritikan kepada DPR berpotensi dibawa ke ranah hukum, hak imunitas dan pemanggilan paksa dalam rapat DPR.
Partai-partai yang memberikan dukungan terhadap undang-undang yang kontroversial tersebut yakni PDI P, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hanura. Partai-partai yang selama ini beroposisi dengan pemerintah turut mendukung aturan tersebut yakni Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
(Baca juga: Disahkan, UU MD3 Buat DPR Miliki Kewenangan Kontroversial)
Selain mengandung pasal-pasal kontroversial yang dianggap dapat membungkam kebebasan pers, UU MD3 menguntungkan partai besar seperti PDIP dan Gerindra. Kedua partai ini memperoleh tambahan kursi di pimpinan DPR dan MPR.
Untuk pimpinan MPR disepakati penambahan kursi sebanyak tiga orang. Adapun, DPR menyepakati tambahan satu kursi pimpinan DPD.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang memimpin pengesahan UU MD3 mengatakan Pasal 122 huruf K mengatur kewenangan MKD DPR mengambil langkah hukum terhadap siapa pun yang merendahkan kehormatan dewan, demi kepentingan kelancaran tugas anggota dewan.
“Terutama tugas pokok (anggota dewan) dalam hal mengkritisi pemerintah,” kata Fadli yang menjabat Wakil Ketua Umum Gerindra kepada wartawan.
Sikap berbeda dari PPP dan Nasdem
Hanya dua partai yakni Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang walk out atau meninggalkan sidang paripurna karena tak mendukung aturan tersebut. Selama ini Nasdem dan PPP selalu berada di pihak pemerintah.
Ketua Fraksi Nasdem Johnny G Plate menilai pasal-pasal yang direvisi dalam aturan tersebut bernuansa pragmatis dan cenderung mementingkan kelompok tertentu. Bahkan, dia menilai jika aturan tersebut membuka peluang oligarki dengan menampik kritik masyarakat.
"Demi menjaga citra dan reputasi, kami meminta pemerintah dan seluruh fraksi untuk sepakat dalam paripurna untuk menunda pembahasan RUU MD3," kata Johnny.
(Bacajuga: Dapat Kursi Pimpinan DPR dan MPR, PDIP Akan Tunjuk Politisi Senior)
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, sebenarnya pengesahan RUU MD3 harus ditunda karena ada dua hal yang disoroti. Pertama, pengisian Wakil Ketua MPR berdasarkan Pasal 427a poin c yang dilakukan tanpa pemilihan.
Kedua, tiga pasal yang mendapat perhatian dari masyarakat sipil. Pasal-pasal tersebut yakni penambahan Pasal 122 tentang tugas dan fungsi MKD untuk bisa mengusut secara hukum pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya.
Selain itu, Pasal 245 yang mengatur hak imunitas anggota DPR. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR terkait tindak pidana yang tak sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden dan setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Terakhir, Pasal 73 ayat 4 dalam revisi tersebut mewajibkan kepolisian untuk memaksa lembaga atau perorangan memenuhi panggilan DPR jika tiga kali mangkir tanpa alasan. "Tapi agar rumusan cermat dan berhati-hati sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Sekali lagi PPP meminta menunda," kata Arsul.
(Baca juga: Survei: PDIP, Golkar dan Gerindra Akan Bersaing Ketat di Pileg 2019)