Menteri Hukum: Presiden Jokowi Kemungkinan Tak Tandatangani UU MD3

Yuliawati
Oleh Yuliawati
20 Februari 2018, 15:13
jokowi
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo kemungkinan tidak akan menandatangani UU MD3.

Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangani revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang telah mendapat persetujuan disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, Senin (12/2). Keterangan ini disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly usai bertemu dengan Jokowi.

"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Yasonna di istana kepresidenan Jakarta, Selasa (20/2) mengutip dari Antaranews.

UU MD3 mendapat sorotan publik karena memuat beberapa pasal kontroversial yang mengatur mengenai hak imunitas anggota DPR, ancaman pidana atas kritik terhadap dewan serta panggil paksa bagi rekan kerja DPR yang mangkir rapat. Saat ini UU MD3 telah digugat ke Mahkamah Konstitusi.

(Baca juga: Jokowi Disebut Dapat Keuntungan Politik Bila Tak Tandatangani UU MD3)

Yasonna mengatakan meski Jokowi tidak menandatangani UU MD3 tersebut, sesuai Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, RUU yang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu 30 hari menjadi sah menjadi UU.

"UU tanpa ditandatangani kan sah sendiri, tapi apa pun itu terserah Bapak Presiden. Saya tidak mau ada pikiran Bapak Presiden seperti itu," kata Yasonna.

Yasonna mengatakan telah menjelaskan kepada Jokowi mengenai latar belakang UU MD3 tersebut yang melalui dinamika yang sangat cepat. Dia mengatakan, mengenai hak imunitas DPR, dirinya  menyetujui dalam rapat pembahasan RUU MD3 sebatas contempt of parlement dalam mengerjakan tugasnya. "Hak imunitas bukan tanpa batas," kata Yasonna.

Yasonna mengatakan baru hari ini melaporkan kepada presiden mengenai proses pembahasan UU MD3. "Waktu itu perdebatan sangat kencang karena ada keinginan pelantikan (pimpinan DPR) pada masa sidang yang lalu, ada keinginan itu makanya kami putuskan segera," ungkap Yasonna.

(Baca juga: Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK)

Sebelumnya pengacara Hukum Tata Negara Andi M Asrun menyatakan jika UU MD3 tidak ditandatangani Jokowi, maka proses gugatan aturan tersebut di MK akan menjadi lebih mudah. Sebab, dengan tidak ditandatangani maka pemerintah dapat memberikan pendapat berbeda dengan DPR ketika berjalannya proses persidangan di MK.

"Sehingga kemungkinan pasal yang diujikan itu akan dibatalkan oleh MK," kata Asrun yang kerap menjadi pengacara dalam kasus di MK.

Perihal soal sah atau tidaknya undang-undang tanpa disertai tandatangan presiden, terdapat dua pendapat hukum yang berbeda. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan terdapat lima Undang-Undang yang tidak ditandatangani oleh presiden yang tetap dapat berlaku. Jimly mengatakan UU tidak berlaku bila dicabut oleh MK.

Beberapa UU yang berlaku meski tanpa tanda tangan presiden, yakni UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pendapat hukum berbeda datang dari Maria Farida Indrati Soeprapto yang kini menjabat hakim Konstitusi di MK. Dalam wawancara dengan Hukumonline pada 2003, dia mengatakan UU yang tidak disahkan Presiden menjadi tidak berlaku sah sebagai UU.

(Baca juga: Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3)

Maria berpendapat, aturan mengenai hal ini tak hanya dapat melihat dari Pasal 20 ayat (5), namun juga harus melihat dari Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Pasal 5 yang mengalami amandemen pada 2000 menyebutkan Presiden berhak mengajukan RUU ke DPR. "Jadi Presiden itu tidak wajib, hanya berhak," kata Maria.

Saat disetujui oleh DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, RUU itu belum dapat dianggap sah. "Jadi, hanya mengatakan disetujui, diketok palu, sudah, kita setujui, kita tingkatkan jadi UU, lalu kita kirimkan kepada Presiden," kata Maria. Setelah persetujuan di DPR, selanjutnya, Presiden memiliki kewenangan untuk mengesahkan.

Maria lebih lanjut berpendapat dari segi hukum administrasi, tidak ada suatu keputusan yang tidak ditandatangani dianggap berlaku sah sebagai keputusan. Sehingga dia menyarankan DPR sebagai pengawas dapat meminta Presiden menandatangani UU yang telah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...