Perusahaan JV Garuda Food Bidik Kenaikan Penjualan 15% Selama Ramadhan

Image title
Oleh Ekarina
30 April 2018, 21:28
Pabrik Snack Garuda Food Terancam Berhenti Beroperasi
Arief Kamaludin / Katadata
Perusahaan joint venture Garuda Food tahun ini menargetkan kenaikan penjualan double digit sama seperti 2017.

PT Suntory Garuda Beverage, produsen minuman yang juga merupakan perusahaan joint venture  (JV) PT Garuda Food dengan Suntory Beverage & Food Ltd, menargetkan pertumbuhan penjualan sebesar 15% selama periode Ramadhan dan Lebaran. Peningkatan tersebut dipicu oleh meningkatnya kebutuhan minuman segar selama puasa.

Puasa dan lebaran merupakan momentum bagi perusahaan makanan dan minuman mendulang keuntungan, tak terkecuali Suntory Garuda. Dia berharap periode tersebut mampu mendorong peenjualan tumbuh 15% dibanding bulan biasa.

Sejumlah persiapan produksi dan pengadaan stok barang juga telah dilakukan sejak Maret dan April 2018 khususnya untuk mengantisipasi hambatan distribusi, seperti larangan truk melintas di jalan toll dan sebagainya. "Peak kami perkirakan terjadi pada April dan Mei, karenanya segala proses produksi dan distribusi kami percepat," kata Head of Research and Development Suntory Garuda Andy Murphy di Jakarta, Senin (30/4).

Dia pun mengaku hingga saat ini belum ada hambatan berarti pada proses produksi, terutama terkait pelemahan nilai tukar rupiah tehadap dolar Amerika Serikat. Menurutnya, pelemahan nilai tukar biasanya akan berimbas terhadap ongkos produksi. Sebab, beberapa bahan baku seperti gula saat ini sebagian masih didapat dari impor. "Namun kami tetap mengupayakan mendapat pasokan bahan baku dari lokal," ujarnya.

Tahun ini Suntory Garuda berharap meraih pertumbuhan pendapatan sebesar doble digit, sama seperti tahun lalu. Meski begitu, dia enggan menjelaskan secara detail mengenai angka pertumbuhan.

Sebelumnya, pelemahan nilai tukar rupiah dinilai dapat menekan industri makanan dan minuman dalam negeri. Sebab meningkatnya dolar Amerika Serikat bakal berpengaruh ke beberapa komponen yang kerap diimpor dari luar negeri.

"Ada pengaruh ke bahan baku, kedua energi," kata Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (23/4).

(Baca : Pelemahan Rupiah Menekan Industri Makanan dan Minuman)

Menurut Adhi, hingga saat ini kondisi rupiah masih berada di ambang batas yang dapat ditoleransi. Namun ketika menyentuh level Rp 14.000 per dolar, industri menyebut bakal mencapai titik kritis.

Adhi pun berharap agar rupiah tetap stabil ke depannya. Menurut Adhi, stabilitas rupiah penting karena industri makanan dan minuman telah memiliki perencanaan dan kontrak tahunan dengan pihak luar.

"Kalau tiba-tiba melonjak naik itu kan agak repot juga," kata Adhi.

Menurut Adhi, untuk bisa mengantisipasi ini diperlukan adanya dorongan untuk meningkatkan ekspor. Hal ini untuk menutupi tingginya impor bahan baku dan energi yang akan terimbas pelemahan nilai tukar rupiah.

(Baca juga: Permintaan Dolar AS Membesar, Penyebab Kurs Rupiah Nyaris Rp 14 Ribu)

Hanya saja, nilai impor industri makanan dan minuman saat ini masih lebih tinggi dibandingkan ekspor. Adhi menjelaskan, neraca ekspor-impor industri makanan dan minuman pada 2017 defisit sebesar US$ 1,3 miliar, meski secara keseluruhan masih positif karena kontribusi sawit.

"Makanya beberapa perusahaan memikirkan bagaimana kami harus imbangi dengan ekspor sebanyak-banyaknya supaya bahan baku terimbangi," kata Adhi.

Adapun, ekspor dapat didorong dengan pemerintah memberikan dukungan bunga pinjaman, terutama ke pasar Asia. Menurut Adhi, saat ini banyak industri makanan dan minuman lokal yang telah masuk ke pasar India, China, Filipina, dan Jepang.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...