Atasi Hambatan Ekspor,Gapki Minta Pemerintah Perkuat Perjanjian Dagang
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah memperkuat perjanjian perdagangan dan penyamaan sertifikasi keberlanjutan komoditas minyak kelapa sawit dan turunannya. Langkah itu diperlukan untuk mengatasi hambatan ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta pemerintah lebih gencar melakukan perundingan guna menghasilkan keputusan yang konkret. Pasalnya sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia, yang mana 70% dari hasil produksi dialokasikan ke pasar ekspor dan diandalkan sebagai salah satu sumber devisa.
“Perlu penguatan jaminan dalam bentuk perjanjian perdagangan supaya tidak ada lagi nantinya diskriminasi komoditas,” kata Joko di Jakarta, Selasa (8/5).
(Baca : Pengusaha Minta Pemerintah Konsisten Melobi Sawit RI ke Pasar Dunia)
Ekspor sawit Indonesia kerap mendapat hambatan dari beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), India serta negara-negara kawasan Uni-Eropa melalui beberapa kebijakannya yang diskrimatif dibandingkan dengan beberapa komoditas penghasil minyak nabati lain.
Dia menjelaskan, hambatan yang dilakukan AS, Uni-Eropa, dan India menyebabkan Indonesia mesti mengambil langkah untuk mendiversifikasi pasar ekspornya ke pasar nontradisional. Meski demikian, hal tersebut juga mengandung sejumlah resiko, yang mana semakin banyak negara tujuan ekspor maka bentuk kebijakan pembatasan tiap negara semakin bervariasi.
Meski demikian permintaan minyak sawit tak pernah surut. Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menyebutkan permintaan minyak nabati pada tahun 1991 sebanyak 83,5 juta ton dengan porsi sawit 14,2%. Sementara di tahun lalu, konsumsi minyak nabati bertambah mencapai 226,2 juta ton, dengan kontribusi minyak sawit sebesar 31,2%.
Pada 2020, permintaan minyak nabati diprediksi terusmeningkat atau mencapai sebesar 400 juta ton.“Peningkatan permintaan pasokan minyak nabati dunia terus cmeningkat, namun hanya sawit yang bisa memenuhi produktivitasnya,” ujarnya.
(Baca Juga : RI, Malaysia & Kolombia Kolaborasi Lobi Vatikan soal Larangan Sawit UE)
Oleh karena itu, Mahendra pun menekankan pentingnya pengembangan industri sawit yang mengacu pada aspek Sustainable Development Goals (SDGs) yang mempertimbangkan kemiskinan, kesejahteraan petani, pembangunan daerah terpencil. Solusinya dengan pengadaan bibit unggul, pembiayaan yang tepat, praktik pertanian baik, dan kemitraan dengan pengusaha.
Menurutnya, butuh komitmen dan kesepakatan bersama antar negara terkait penyetaraan sertifikasi untuk mengatasi hambatan perdagangan, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) .
Proses pengeluaran minyak sawit dari energi terbarukan yang diajukan oleh Parlemen Uni-Eropa pun masih dibahas dan belum mencapai hasil yang memuaskan. Masalah persamaan standar sertifikasi pun turut berdampak terhadap molornya penyelesaian perjanjian dagang.
Pemerintah saat ini berjuang keras untuk menemukan solusi terhadap sawit Indonesia di pasar global. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Isu Strategis Perdagangan Internasional, Lili Yan Ing menjelaskan ada 3 poin utama yang terus ditekankan pemerintah untuk negara-negara penentang sawit.
Pertama, isu sawit bukanlah penyebab masalah deforestasi. Kedua, pemerintah menolak diskriminasi sawit. Terakhir, Indonesia tidak akan melakukan retaliasi sebagai sokusi terhadap hambatan dagang.
Ketiga faktor tersebut terus diplomasi dilakukan tidak hanya untuk sawit, termasuk juga untuk semua produk milik Indonesia. “Kami bukan hanya memperkuat perdagangan kepada negara tujuan, tapi pengembangan pasar nontradisional,” kata dia.
Sebaliknya, Climate Change and Environment Counsellor Europe Union Michael Bucki mengatakan pihaknya masih belum memutuskan untuk melarang penggunaan sawit dalam kelompok minyak nabati energi yang terbarukan. Pembahasannya juga masih dilakukan dengan pertimbangan perubahan iklim dan aspek lingkungan.
Sebagai upaya penyelesaian hambatan dagang, Bucki belum bisa memberikan jawaban. Namun, dia menimbang opsi penyamaan sertifikasi, sama seperti yang dilakukan Uni-Eropa dan Indonesia untuk komoditas kayu.
Penyetaraan sertifikasi bisa diimplementasikan kepada industri sawit dengan faktor hukum dan keberlanjutan. “Kami bukan ingin melarang, tetapi menanyakan isu lingkungan sawit dalam energi terbarukan,” kata Bucki.