Jelang Rilis Kebijakan 3 Bank Sentral Besar, IHSG dan Rupiah Terpukul
Mayoritas indeks saham di bursa Asia berjatuhan dan mata uang negara berkembang tertekan pada Jumat (8/6). Pelaku pasar diduga mewaspadai kebijakan moneter yang akan diambil tiga bank sentral dunia, pekan depan. Di luar itu, pertemuan negara G-7 yang bakal membahas tarif impor juga jadi sorotan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat salah satu yang terpukul paling dalam yaitu 1,85% ke level 5.993. Penurunan ini juga seiring antisipasi pelaku pasar menjelang cuti panjang Lebaran. Penurunan tajam juga dialami indeks Hang Seng di Hong Kong yang anjlok 1,76%, CSI 300 di Tiongkok 1,34%, Straits Times di Singapura yang 1,05%, dan PSEi – Philippine SE turun 0,8%.
Indeks Kospi di Korea Selatan juga turun 0,77%, Thai Set 50 di Thailand 0,62%, Nikkei 225 dan Topix di Jepang turun masing-masing 0,56% dan 0,42%, dan FTSE Bursa Malaysia KLCI turun 0,42%.
Mayoritas mata uang Asia juga mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kecuali yen Jepang yang menguat 0,29% dan dolar Hong Kong yang naik tipis 0,01%. Pelemahan mata uang terbesar dialami rupee India 0,81%, won Korsel 0,65%, peso Filipina 0,62%. Adapun nilai tukar rupiah melemah 0,41% ke level 13.932 per dolar AS, dari sebelumnya di level 13.800-an.
(Baca juga: Kurs Rupiah Tersandera Dana Asing, Bunga Acuan Bisa Jadi Obat Mujarab?)
Sementara itu, sentimen terhadap mata uang dan aset dolar AS kuat. Indeks dolar AS terpantau kembali bergerak naik. Demikian juga dengan imbal hasil surat berharga AS, US Treasury tenor 10 tahun kembali bergerak ke kisaran 2,9%.
Pekan depan, tiga bank sentral dunia, yaitu The Federal Reserve (The Fed), European Central Bank (ECB), dan Bank of Japan (BoJ) bakal menggelar pertemuan bulanan untuk menentukan kebijakan moneternya. Berdasarkan data prediksi ekonom di Bloomberg, The Fed diprediksi bakal kembali menaikkan bunga acuan 0,25% ke level 2%.
Adapun kenaikan bertahap bunga acuan AS, bersama dengan isu lainnya seperti defisit fiskal di negara tersebut telah membuat imbal hasil (yield) surat berharga AS naik dan dolar AS perkasa. Hal itu memicu arus keluar dana asing dari pasar keuangan, terutama di negara-negara berkembang yang semakin memukul nilai tukar mata uang negara terkait terhadap dolar AS.
Mengutip Bloomberg, Institute of International Finance melansir arus keluar dana asing mencapai US$ 12,3 miliar pada Mei lalu, atau yang terbesar sejak November 2016. Merespons kondisi tersebut, beberapa bank sentral negara berkembang melakukan penyesuaian bunga acuan. Bank of India menaikkan bunga acuan yang telah dipertahankannya sejak 2014, sedangkan Bank Indonesia (BI) mengakhiri kebijakan bunga rendah dengan menaikkan bunga acuan total 0,5% lewat dua kali rapat pada Mei lalu.
(Baca juga: Gubernur BI: Masih Ada Ruang Kenaikan Bunga Acuan)