Dua Hal Yang Bikin Pemerintah Sulit Tarik Pajak Fintech

Desy Setyowati
7 Agustus 2018, 17:29
Fintech
Arief Kamaludin | Katadata

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pun mengkaji potensi penerimaan dari industri financial technology (fintech) di Tanah Air. Namun, hingga kini ada dua kendala penarikan pajak yang teridentifikasi.

Yang pertama, pemerintah masih sulit menentukan subjek pajak. "Secara prinsip, ada Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dibayar hanya yang membayar lewat siapa?" kata Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo dalam CNBC Forum di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/8).

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan apakah fintech mencatatkan pendapatannya di dalam negeri. "Kan ada fintech yang berasal dari luar negeri. Lalu bagaimana kami pastikan fintech atau ecommerce reported (pendapatan) di Indonesia," ujarnya.

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi, fintech asing memang bisa mendaftarkan diri ke OJK. Dalam pasal 3 menyebutkan, bahwa penyelenggara atau badan hukum asing maksimal mempunyai saham perusahaan sebesar 85%.

(Baca juga: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)

Selama ini, pemungutan pajak untuk fintech terbagi dalam lima skema. Pertama, fintech jasa pembayaran dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif 2% dari total pendapatan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa sebesar 10% dari transaksi. Kedua, PPN atas pembelian software keuangan sebesar 10%.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...