Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan, Bunga Acuan BI Naik 25 Bps
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke level 5,50%. Bank sentral memastikan sikap kebijakan moneternyapun tak berubah, hawkish, yakni antisipatif dan fokus menjaga stabilitas ekonomi terutama kurs rupiah terhadap dolar AS.
RDG yang digelar hari ini, Rabu (15/8), juga mengumumkan bahwa suku bunga deposit facility turut naik 25 bps menjadi 4,75% sedangkan suku bunga lending facility meningkat 25 bps ke level 6,25%.
(Baca juga: Rupiah Terpuruk, Ekonom Prediksi Suku Bunga Acuan BI Naik Bulan Ini)
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan suku bunga 7-DRRR sejalan dengan upaya mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik serta mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account deficit / CAD) dalam batas aman. Keputusan ini diharapkan bisa menarik lebih banyak arus masuk dana asing agar pasokan dolar bertambah guna membiayai defisit.
“Kami mendukung keseriusan pemerintah untuk menurunkan CAD dengan mendorong ekspor dan menurunkan impor termasuk penundaan proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi,” tuturnya di dalam RDG BI, Jakarta, Rabu (15/8).
Perry menjelaskan, posisi defisit transaksi berjalan per triwulan II/2018 memang terpengaruh kenaikan impor barang produktif, seperti bahan baku dan barang modal. Yang perlu dipastikan ke depan, imbuhnya, adalah CAD tetap dalam level aman.
Batas aman yang dimaksud ialah manakala CAD di level 3% terhadap Produuk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi kondisi keuangan global normal. Tapi, ketidakpastian yang menyelimuti pasar internasional sekarang ini membuat BI dan pemerintah sepakat menurunkan CAD lebih rendah lagi.
Per triwulan kedua tahun ini, CAD pada posisi US$ 8 miliar setara dengan 3% PDB. Ini merupakan defisit terbesar sejak tahun 2014 yang kala itu menyentuh 3,1%. Setelah 2014, CAD melandai dan baru melejit lagi sejak triwulan keempat tahun lalu sebesar 2,3%.
(Baca juga: Bauran Insentif sebagai Bantalan untuk Transaksi Berjalan)
Perry menekankan, tingkat suku bunga yang ada sekarang berusaha supaya pasar keuangan domestik tetap menarik di mata para pelaku pasar. Hal yang perlu dipertimbangkan lebih jauh adalah perkembangan premi risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global.
“Kami memandang kenaikan 7-DRRR sebesar 25 basis poin diharapkan bisa mengkompensasi dan bisa lebih tinggi dari kenaikan premi risiko. Jadi, daya tarik dari pasar keuangan domestik tetap baik,” ucap Perry.
Terkait ruang penaikan suku bunga acuan pada bulan-bulan mendatang, BI menyatakan akan dilakukan pemantauan kembali pada September 2018. Bank sentral memastikan siap mengkalibrasi lagi tingkat suku bunga 7-DRRR sejalan dengan dinamika pasar keuangan global dan domestik.
Kenaikan suku bunga acuan bank sentral menjadi 5,50% didukung pula oleh strategi operasi moneter melalui penguatan konvergensi suku bunga pasar uang antar bank. Sasarannya tak lain guna memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Di pasar uang, BI juga melanjutkan langkah-langkah akselerasi pendalaman. Sebagai contoh, keberhasilan implementasi Indonia akan diikuti dengan pengembangan instrumen OIS (Overnight Index Swap) dan IRS (Interest Rate Swap). Strategi ini diharapkan dapat mengefisienkan struktur suku bunga pasar.
Untuk pasar valuta asing, bank sentral meningkatkan efektivitas penyediaan swap valas baik dalam rangka operasi moneter maupun dalam rangka hedging dengan harga lebih murah. Seluruh kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat alternatif instrumen pengelolaan likuiditas dan mendukung stabilitas kurs rupiah.
Adapun, soal pasar global, Perry berpendapat bahwa dinamika keuangan global meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata. Perekonomian AS diprakirakan tetap tumbuh didukung akselerasi konsumsi dan investasi. Untuk Eropa, Jepang, dan Tiongkok diproyeksikan cenderung menurun.
Bank sentral AS alias The Federal Reserve diprakirakan bakal melanjutkan rencana kenaikan Fed Funds Rate secara bertahap. Sementara itu, European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) agaknya menahan diri.