Pengusaha Minta Pengendalian Barang Impor Tak Menyasar Bahan Baku
Pemerintah diminta berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pengendalian impor dengan mengevaluasi 500 komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri. Jika tak berhati-hati, hal tersebut dikhawatirkan justru bisa menjadi bumerang bagi pertumbumbuhan industri dalam negeri.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan pada prinsipnya pengusaha tidak sepakat dengan pembatasan impor, terutama jika kebijakan itu mencakup barang baku dan barang modal. Termasuk juga terkait rencana penerapan pajak penghasilan (Pph) impor 7,5% untuk barang-barang yang berhubungan barang konsumsi maupun bahan baku.
Sebab, kebijakan tersebut diperkirakan bisa mengganggu kelangsungan industri. Apalagi untuk makanan minuman yang memiliki sumbangan sekitar 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)industri non-migas.
"Menurut kami barang konsumsi saja yang dikurangi asalkan tersedia di dalam negeri," kata Adhi kepada Katadata, Kamis (16/2).
(Baca : Tekan Defisit Dagang, Pemerintah Evaluasi 500 Komoditas Impor)
Dia menuturkan, industri makanan minuman saat ini memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap bahan baku impor karena tak banyak tersedia di dalam negeri. Sebagai contoh, untuk komoditas bahan baku terigu yang 100% masih mengandalkan impor, kemudian gula industri 100% juga masih impor. Belum lagi garam yang ketergantungan impornya yang mencapai 70%, susu 80% dan kedelai 70%.
"Jika dilakukan tanpa persiapan, industri akan terancam," ujarnya.
Karena itu dia berharap, pemerintah harus memikirnya dampaknya terhadap industri makanan minuman. Bahkan dia pun berharap, industri pengolahan makanan minuman bisa didorong sebagai lokomotif sektor manfaktur sambil dipersiapkan dari sisi hulunya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati dan selektif dalam mengidentifikasi komdoitas impor yang dapat disubtitusi di dalam negeri. Sebab, jika pengendalian komoditas impor dilakukan secara general dan menyaasar barang konsumsi, maka dikhawatirkan dapat berdampak langsung terhadap konsumen.
"Sehingga ada dua dampak yang bisa ditimbulkan, yaitu inflasi dan dampaknya ke pedagangan kecil sehingga menyebabkan usahanya makin sulit dan berakibat pada berkurangnya lapangan kerja," ujarnya kepada Katadata.
(Baca : Neraca Perdagangan Juli Defisit US$ 2,03 Miliar, Terbesar Sejak 2013)
Karenanya, dia memberi beberapa catatan untuk pemerintah jika kebijakan pengendalian impor jadi dilakukan. Pertama, selektif dalam membidik komoditas impor yang diperkirakan dapat disubtitusi di dalam negeri dan pastikan produksi dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan. Kedua, komoditas yang harganya bersaing dengan produk lokal sehingga komoditas dalam negeri nantinya bisa terserap pasar.
Ketiga, rencana pembatasan barang impor untuk proyek infrastruktur satu sisi mungkin memang dilematis, sebab hal ini berpotensi menyebabkan pembangunan proyek infrastruktur sedikit direm, namun bisa juga menjadi langkah positif untuk menyelamatkan rupiah.
"Catatan lain, mungkin juga bisa diawasi beberapa komoditas yang terindikasi kena praktik dumping seperti besi dan baja asal Tiongkok untuk dikenakan bea masuk," ujar Bhima.
Karena itu dia menilai sejumlah kebijakan dan antisipasi pemerintah dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan mengerem laju impor sudah tepat, meskipun agak terlambat.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Juli 2018 defisit US$ 2,03 miliar. Defisit ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2013 atau dalam 59 bulan terakhir sebesar US$ 2,30 miliar. Sektor minyak dan gas (migas) menyumbang defisit terbesar Juli 2018 yakni sekitar US$ 1,18 miliar. Sementara defisit neraca nonmigas tercatat sebesar US$ 842,2 juta.
Hingga Juli 2018, Indonesia tercatat telah mengalami lima kali defisit neraca perdagangan, yakni pada Januari, Februari, April, Mei dan Juli.
Kinerja impor periode Juli 2018 yang melesat 62,17% dengan kenaikan impor non-migas sebesar 71,54% menjadi faktor pemberat neraca perdagangan. Impor nonmigas terjadi di seluruh kelompok barang, dengan kenaikan tertinggi berada di kelompiok barang konsumsi sebesar 70%.
Adapun kinerja ekspor tak cukup mumpuni untuk mengimbangi kenaikan impor. Tercatat, total ekspor Indonesia pada Juli 2018 hanya mampu tumbuh sebesar 25,19%, sementara ekspor nonmigas tumbuh 31,18%.