Hitung-Hitungan Investasi di Industri Film Ala Ideosource
Ideosource merupakan modal ventura yang sudah mendanai 27 startup senilai US$ 15 juta sejak 2014. Selain startup, Ideosource juga berinvestasi di industri film. Beberapa judul film yang telah dibiayainya adalah Kulari ke Pantai, Aruna dan Lidahnya, serta Keluarga Cemara.
Managing Director Ideosource Andi Boediman pun berbagi cerita terkait pengalamannya berinvestasi di industri film. "Berinvestasi itu bukan cari untung, tetapi supaya tidak rugi," kata dia saat diskusi Indonesia Film Business Outlook 2019 di Jakarta, Kamis (13/9).
Berdasarkan data Motion Picture Association of America (MPAA), pasar perfilman Indonesia berada di urutan ke-15 dunia dengan nilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun pada 2016. Sementara, saat itu ada 120 film. "Yang sukses itu kalau ditonton lebih dari 1 juta," ujarnya.
(Baca juga: Tumbuh Dua Digit, Bekraf Fokus Kembangkan Potensi Industri Film)
Namun, hanya 10 film yang memperoleh penonton lebih dari 1 juta pada 2016. "Itu artinya, kalau saya investasi di film pasti rugi. Karena jackpot itu kalau rasionya 1:11. Ini kan tidak," kata dia. Untuk itu, menurutnya investor harus investasi di 10 film. "Kalau investasi satu film, pasti rugi."
Alasannya, dari 10 film yang diinvestasi pasti akan ada yang tembus 1 juta penonton. "Untungnya (dari satu film itu) cukup untuk mengganti semua ruginya," kata dia.
Hitung-hitungannya, dari nilai pasar Rp 1,5 triliun yang dibagi 120 film, maka rata-rata pendapatannya sekitar Rp 12,5 miliar. Pendapatan itu dibagi dua untuk distribusi dan operator bioskop, sehingga bagian produser sekitar Rp 6,25 miliar. "Jadi, Anda untung 20-35% kalau anggaran (untuk tiap film) rata-rata Rp 5 miliar," ujarnya.
Oleh karenanya, investor juga perlu memperhatikan rasio anggaran pembuatan produk dengan pemasarannya. Menurutnya, pemasaran film adalah hal utama. Karena masyarakat akan menonton film kalau pemasarannya baik. "Korban dalam investasi film ini luar biasa banyaknya. Itu karena tidak diatur investasinya," kata dia.
(Baca juga: Tumbuh 20%, Penonton Bioskop Diproyeksi Capai 60 Juta pada 2019)
Berdasarkan informasi yang ia dapat, rata-rata pembuatan film di Indonesia hanya mengalokasikan 30% untuk biaya pemasaran. Padahal, pembuat film di luar negeri mengalokasikan minimal 50% untuk pemasaran. "Marketing itu variable cost. Yang buat rugi itu kalau pemasarannya kurang," katanya.
Program Director Akatara 2018 Vivian Idris pun sepakat, bahwa pembuatan film harus memperhatikan konten hingga pemasaran supaya sukses menarik minat penonton. "Yang kami hindari adalah investor film kapok, karena memegang peranan penting," kata dia.