Penjualan Minyak Kontraktor ke Pertamina Terganjal Branch Profit Tax
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan ada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang terhambat penjualan minyak mentah ke PT Pertamina (Persero). Penyebabnya adalah keberadaaan pajak penghasilan atas laba, setelah pajak (Branch Profit Tax).
Branch Profit Tax diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26. Pajak ini dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Branch Profit Tax berlaku untuk semua Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang beroperasi di Indonesia, termasuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor minyak dan gas bumi (migas). Ini karena KKKS tergolong BUT.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan kontraktor migas mempertanyakan keberadaan pajak tersebut. Apalagi, besarannya bisa mencapai 44%. "Semua perusahaan sepakat (jual minyak ke Pertamina), tinggal penjelasan mengenai pajak ini," kata dia di Jakarta, Jumat (28/9).
Pajak ini pula yang membuat Chevron belum bisa menjual minyaknya ke Pertamina. Ini karena ada perbedaan perlakuan pajak mengenai penjualan minyak ke luar dan ke dalam negeri.
Sebagai contoh, apabila minyak KKKS dijual ke distributornya (trading arm) yang berada di Singapura, maka pemerintah tidak mengenakan pajak BPT. Alasannya, transaksi berlangsung di Singapura. "Singapura yang menarik pajaknya," ujar Djoko.
Hal tersebut berbeda ketika minyak KKKS dijual ke Pertamina, maka dibebankan pajak. Seharusnya, menurut Djoko untuk penjualan dalam negeri pemerintah tidak perlu mengutip pajak BPT.
Sementara itu, menurut Djoko, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sudah tidak ada lagi masalah. "Untuk PPh 22 itu udah bebas pajak," kata Djoko.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan BPT memang diwajibkan alias dibebankan kepada KKKS. Ini karena KKKS merupakan BUT yang beroperasi dan mendapatkan penghasilan dari wilayah Indonesia.
Penerapan pajak itu juga tidak ada pembedaan antara transaksi di dalam negeri atau luar negeri. "Jadi tidak terkait mau jual ke siapa, ke dalam negeri atau ekspor, tetap ada kewajiban BPT itu," kata dia.
(Baca: Ditjen Pajak Pastikan Penjualan Minyak ke Pertamina Bebas Pajak)
Hestu juga mempertanyakan pernyataan Direktur Jenderal Migas Djoko Siswanto yang menyebutkan besaran pajak mencapai 44%. Ini karena menurut aturan, besarannya tidak sebesar yang disampaikan Djoko.
Adapun objek pengenaan BPT adalah penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan dari suatu BUT atau PPh badan, persentasenya 20%."Mungkin ESDM perlu memperjelas yang 44% itu," kata dia.