DPR: Penambahan Subsidi Solar tanpa APBNP Berpotensi Langgar UU
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti penambahan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar menjadi Rp 2.000 per liter yang dilakukan pemerintah tahun ini. Penambahan subsidi ini dinilai berpotensi melanggar Undang -Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN).
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan pemerintah telah menyurati komisi VII DPR untuk meminta izin penambahan subsidi solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter tahun ini. Hal itu sebenarnya tidak masalah jika harus melalui prosedur APBN-P.
Gus khawatir jika tidak melalui APBN-P, kebijakan itu melanggar undang-undang yang ada. "Saya khawatir saja, kecenderungan sekarang tabrak sana tabrak sini. Apakah itu dijalankan. Kalau dijalankan itu melanggar UU APBN. Mekanismenya harusnya APBN-P," kata dia di DPR, Jakarta, Selasa (2/10).
Di sisi lain, Gus Irawan tidak membantah, kenaikan harga minyak saat ini bisa berdampak bagi PT Pertamina (Persero). Ini karena perusahaan tersebut harus menanggung selisih harga dari BBM yang dijual ke masyarakat dengan keekonomiannya.
Bahkan, menurut Gus, jika harga BBM terus ditahan, bisa membuat Pertamina bangkrut. Padahal, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pertamina tidak boleh merugi. "BUMN kan harus survive, harus profit," kata dia.
Sebetulnya, pemerintah bisa mengevaluasi harga BBM di saat kenaikan harga minyak mentah. Apalagi, aturan memberi peluang untuk mengevaluasi setiap tiga bulan.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 tahun 2018. Aturan itu sebagai payung hukum untuk menambah subsidi Solar menjadi Rp 2.000 per liter. subsidi ini nantinya akan berlaku surut sejak 1 Januari 2018.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan penambahan subsidi Solar itu untuk membantu keuangan Pertamina agar tidak terbebani karena harga tidak naik. “Jadi maksimum subsidi Rp 2.000 per liter. Itu karena harga minyak juga naik," kata dia di Jakarta, Rabu (5/9).
(Baca: Pemerintah Sepakat Naikkan Subsidi Solar Menjadi Rp 2.000 per Liter)
Menurut Djoko, penambahan subsidi Solar itu bisa berubah seiring pergerakan harga minyak dunia. Jika harga minyak rendah, maka pemerintah akan mengatur ulang untuk menurunkan jumlah subsidi.
Aturan ini mulai berlaku sejak diundangkan atau pada 21 Agustus 2018 lalu. Dalam aturan anyar itu disebutkan besaran subsidi yang diberikan itu berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2018.
Jadi, Pertamina akan menanggung terlebih dahulu beban subsidi tersebut, setelah akhir tahun, beban subsidi itu diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah lolos audit kemudian dibayarkan kembali kepada Pertamina.