Sempat Sentuh US$ 85 per Barel, Harga Minyak Brent Cetak Rekor Baru

Anggita Rezki Amelia
2 Oktober 2018, 18:15
Sumur Minyak
Chevron

Harga minyak mentah jenis Brent di pasar dunia sempat mencapai level US$ 85 per barel. Ini merupakan rekor terbaru tertinggi sejak 2014 lalu. Harga Brent terakhir menyentuh level itu Oktober 2014 yakni US$ 85,86 per barel.  

Adapun, harga Brent kembali menyentuh level US$ 85 per barel atau tepatnya US$ 85,31 pada pukul 02.36 AM waktu Eastern Time. Angka ini meningkat dari pembukaan yang mencapai level US$ 84.95 per barel.

Peningkatan harga minyak tersebut salah satunya dipicu keraguan investor mengenai kemampuan negara pengekspor minyak (OPEC) menggantikan penurunan ekspor dari Iran yang disanksi Amerika Serikat November nanti. Penyebab lainnya adalah perlambatan pengeboran Amerika yang menambah kekhawatiran atas kerugian pasokan dari Iran dan Venezuela.

Presiden Donald Trump dan Raja Salman bin Abdulaziz dari Arab Saudi sebenarnya sudah membahas upaya untuk mempertahankan pasokan. Akan tetapi, jumlah pengeboran untuk minyak mentah Amerika turun untuk minggu kedua.

Ini mempengaruhi pasokan minyak mentah. "Saat ini, kami hanya di pasar bull untuk minyak karena prospek pasar yang sangat ketat di kemudian hari," kata mitra pendiri di hedge fund New York, John Kilduff, dikutip dari Bloomberg, Selasa (2/10).

Sementara itu, para pedagang utama minyak di pasar global memprediksi harga minyak dapat mencapai 
US$ 100 per barel ke depannya. Ini karena adanya kekhawatiran melemahnya permintaan akibat berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok.

Namun, setelah menyentuh level tersebut, harga untuk kontrak Desember 2018 terus turun hingga US$ 84,95 per barel pada penutupan dagang di bursa ICE Futures Europe, Senin (1/10) pukul 4.38 AM waktu Eastern Time atau pukul 15.38 WIB telah mencapai. Sementara harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di harga US$ 75,58 per barel untuk kontrak November mendatang.

Dampak Harga Minyak Naik

Adapun harga minyak itu berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah melemah menembus Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (2/9). 

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan lonjakan harga minyak tersebut bakal membuat kebutuhan Indonesia akan dolar AS semakin besar untuk pembayaran impor minyak. Ini artinya, defisit perdagangan Indonesia berisiko semakin lebar. Kondisi tersebut bisa memperberat upaya stabilisasi kurs rupiah ke depan.

“Bagi negara net importir minyak seperti Indonesia, naiknya harga minyak dapat menyebabkan defisit (perdagangan) migas yang semakin lebar. Permintaan dolar secara alamiah akan terus meningkat,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (2/10).

(Baca: Lonjakan Harga Minyak Picu Kurs Rupiah Tembus 15 Ribu per Dolar AS)

Ditemui terpisah, Ketua Komisi VII DPR yang membidangi energi, Gus Irawan Pasaribu  mengatakan harga minyak merupakan hal yang tidak bisa dikontrol. Selain ke nilai tukar, kenaikan harga minyak akan berdampak terhadap keuangan Pertamina, bahkan bisa bangkrut. Padahal menurut Undang-undang, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak boleh merugi. 

Gus menilai evaluasi harga BBM per tiga bulan adalah sesuatu hal yang realistis untuk dilakukan.  "Aneh kalau misalnya dipatok sampai 2019. Itu disitu ada korporasi yang terbebani," kata Gus Irawan di DPR, Jakarta, Selasa (2/10).

Saat ini Pertamina menjual Premium dengan harga Rp 6.450 per liter, sementara solar Rp 5.150 per liter. Harga ini tidak berubah sejak April 2016 lalu.

Komisi VII pun sepakat jika subsidi Solar ditambah dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. “Kami bilang boleh, tapi ajukan ke APBN-P.  Saya khawatir kecenderungan sekarang tabrak sana tabrak sini," kata Gus.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai kenaikan harga minyak global memiliki plus dan minus. Di satu sisi menambah penerimaan migas, di sisi lain membuat beban subsidi energi seperti BBM, elpiji dan listrik membengkak. 

Kenaikan harga minyak juga mempengaruhi neraca perdagangan migas (ekspor-impor). Menurut Pri kenaikan harga minyak akan membuat defisit neraca perdagangan migas membesar. "Hal itu akan semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (2/10).  

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...