Perkuat Modal, Bekraf Ajak Startup Industri Kreatif Melantai di Bursa
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mendorong semakin banyak perusahaan rintisan atau startup mencatatkan diri di bursa saham. Hal ini merupakan alternatif cara untuk mengakses sumber pendanaan lebih besar.
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo mengatakan, selain kucuran dana dari filantropi dan modal ventura, pebisnis juga dapat mencari pembiayaan dari pasar modal. Jumlah startup ekonomi kreatif (ekraf) yang melantai di bursa kini masih sedikit.
"Kami mengupayakan untuk lebih mengeksiskan pasar modal. Kini baru ada dua startup yang melantai, yaitu M Cash dan Kioson. Dua ini kurang," tuturnya kepada Katadata.co.id, di Jakarta, akhir pekan lalu.
(Baca juga: OJK Siapkan Skema Pendanaan bagi UKM Lewat Equity Crowdfunding)
Fadjar menyatakan, pemerintah menginginkan setidaknya terdapat 20 perusahaan rintisan di sektor kreatif melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sesuai dengan julukannya, mereka perlu kreatif mencari cara untuk memperkuat modal.
Bekraf menyadari keterbatasan lembaga jasa keuangan perbankan untuk mengucurkan kredit kepada industri kreatif. Pasalnya, karakter usaha atau nature business sektor ini kerap tak cocok dengan skema pembiayaan bank.
Pebisnis di bidang kreatif selama ini kerap mengandalkan pendanaan dari investor, baik dalam dan luar negeri. Kucuran uang dari pemodal malaikat bukan tanpa tantangan. Pelaku ekraf harus mampu membuat model bisnis yang menarik perhatian investor.
"Tantangan secara umum memang bagaimana bikin desain bisnis yang menarik di mata investor. (Selain filantropi) sekarang muncul opsi lain, yaitu modal ventura. (Ke depan) kami ingin semakin eksiskan pasar modal," ucap Fadjar.
(Baca juga: Tak Punya Badan Hukum, Pebisnis Kreatif Kian Sulit Akses Kredit)
Bekraf juga menjelaskan, pembeda bisnis di industri kreatif dengan lapangan usaha lain terletak pada modal utama berupa gagasan. Ide atau gagasan merupakan kekayaan intelektual. Bagi perbankan aspek ini sukar diukur sisi keekonomiannya.
Guna menumbuhkan ekonomi kreatif di Indonesia tidak cukup sekadar meningkatkan kapasitas pebisnis maupun mengedukasi lembaga jasa keuangan. Fadjar menyatakan, respon masyarakat juga menjadi faktor penting.
"Startup ekraf ini bertumpu kepada inovasi. Ekonomi kreatif sulit berkembang di masyarakat saving society, melainkan di investing society. Kalau kita tidak mau investasi, ya wajar kalau investasi datang dari asing," kata Fadjar.
CEO PT Kopitiam Oey Indonesia Wasis Gunarto mengutarakan, kebutuhan dana paling berat untuk bisnis kuliner adalah biaya sewa dan gaji karyawan. Dua hal ini tidak hanya menjadi tantangan bagi startup melainkan pula pebisnis kuliner yang lebih mapan.
Perseroan pemilik merek Kopi Oey yang didirikan pebisnis Bondan Winarno tersebut kini mulai aktif mencari investor untuk mengembangkan bisnis. Strategi yang dilakukan salah satunya membenahi laporan keuangan dengan melibatkan auditor eksternal.
"Setelah ditinggal (meninggal) Pak Bondan kami memang jadi lebih konservatif. Jadi lebih berhati-hati, jangan sampai hitung-hitungan bisnis meleset. Kami coba pakai auditor eksternal dan mulai cari investor," ujar Wasis kepada Katadata.co.id secara terpisah.
(Baca juga: Go-Jek Dikabarkan Galang Investasi Baru Rp 29,6 Triliun)
Sementara itu, Rex Marindo selaku Direktur Pemasaran PT Citrarasaprima Indonesia Berjaya menyatakan, tatkala memutuskan untuk merperbesar skala bisnis maka pendanaan menjadi tantangan. Sejak awal merintis bisnis kuliner, pihaknya tak mengakses pendanaan dari bank.
"Terkait pendanaan dari bank, sejauh ini kami tidak terlibat sama sekali. Bagi kami, skema kredit bank masih ribet apalagi bagi perusahaan yang bisnisnya masih tumbuh. Kalau bank bisa ubah skema mereka akan menolong startup lokal," kata dia.
PT Citrarasaprima Indonesia Berjaya alias CRP Group kini menaungi beberapa merek kuliner, seperti Bakso Boedjangan dan Warunk Upnormal. (Baca juga: Resep Pendiri Warunk Upnormal untuk Memanjangkan Bisnisnya)
Berdasarkan data yang dihimpun Bekraf bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, pada 2016 kontribusi ekraf terhadap perekonomian nasional sebesar 7,44%. Nilai PDB ekraf sepanjang tahun tersebut Rp 922,59 triliun.
Secara total terdapat 16 subsektor yang berkontribusi terhadap ekonomi kreatif. Terdapat tiga subsektor ekonomi kreatif dengan sumbangsih terbesar terhadap PDB di bidang ini, yaitu kuliner, fesyen, dan kriya.
(Baca juga: Diminati Milenial, Target Kontribusi Ekonomi Kreatif Rp 1.105 Triliun)