Prabowo Janji Tak Akan Impor, Faisal Basri: Tidak Masuk Akal
Indonesia tak perlu lagi impor, mendatangkan barang dari negara lain? Janji itu yang dikumandangkan Prabowo Subianto. Syaratnya, masyarakat mempercayakan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu menjadi presiden pada tahun depan.
Janji Prabowo ini lantas menuai kritik dari para ekonom. Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, menilai tak mungkin untuk menghentikan seluruh impor komoditas. Pakaian berbahan katun yang sehari-hari dikenakan masyarakat, dia memberi contoh, berasal dari impor. Hal ini karena Indonesia tak bisa memproduksi kapas sendiri.
(Baca: Mengadu Kebijakan Populis dari Program Ekonomi Jokowi dan Prabowo)
Karenanya, Faisal meyarankan janji untuk tak impor sebagaimana disampaikan calon presiden nomor 02 itu tak dilanjutkan. Lebih baik, para kandidat di Pilpres 2019 menitikberatkan pada gagasan, bukan sensasi. “Tidak masuk akal. Jangan dilanjutkan-lah,” kata Faisal di Jakarta, Selasa (6/11).
Sebelumnya, Prabowo Subianto menjanjikan Indonesia tak akan impor komoditas jika terpilih sebagai presiden tahun depan. Dia menyampaikannya saat berorasi di depan para pendukungnya di GOR Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, Minggu (4/11).
“Saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri. Kita tidak akan impor, kita mampu mengelola negara dan kekayaan milik kita sendiri,” kata Prabowo. Dia merasa yakin membuat Indonesia mampu melakukan swasembada pangan.
Tak hanya itu, Ketua Umum Gerindra ini juga meyakinkan para pendukungnya bahwa Indonesia dapat swasembada energi. Dengan demikian, Indonesia tak perlu impor 1,3 juta barel minyak setiap hari. Volume sebesar itu telah menguras sekitar US$ 30 miliar tiap tahun ke luar negeri hanya untuk bahan bakar.
Tak hanya Faisal Basri yang mengkritik Prabowo. Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan hal senada. Menurut Bhima, bila tak ada impor justru merupakan kemunduran. Baginya, ujaran tersebut keluar tanpa memahami basis data dan analisa ekonomi.
(Baca juga: Dua Pengusaha Muda Perkuat Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin)
Menurut Bhima, tak ada negara di dunia yang meniadakan impor. Mendatangkan barang dari negara lain penting untuk diolah sebagai barang industri dengan nilai tambah tinggi sehingga membuat perdagangan surplus.
Bhima mencontohkan Cina. Raksasa perdagangan dunia dengan ekspor senilai US$ 226,5 miliar itu saja masih berbelanja ke luar negeri. Nilai impor Tiongkok mencapai US$ 195 miliar per September 2018. “Negara sosialis sekalipun seperti Kuba, Venezuela pasti mengimpor barang yang tidak diproduksi di dalam negeri atau ongkos produksinya mahal,” kata Bhima.
Justru, Bhima menilai ditiadakannya impor dapat menyebabkan sentimen negatif dari pelaku usaha baik dalam dan luar negeri. Hal tersebut berbahaya bagi perekonomian Indonesia. (Baca pula: Perbandingan Visi Misi Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi)
Karenanya, Bhima menyarankan Prabowo untuk lebih hati-hati dalam membuat janji kampanye. Lebih baik, lanjut Bhima, Prabowo menjanjikan untuk mengurangi impor di Indonesia. “Jangan sampai hanya mengejar elektabilitas jangka pendek, lalu buat harapan yang secara ekonomi tidak make sense,” kata Bhima.