Koalisi Save Nuril Ingin Amnesti, Jokowi Tawarkan Grasi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara mengenai kasus yang melanda Baiq Nuril Maqnun. Presiden meminta Nuril menyelesaikan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya terlebih dahulu. Jika langkah tersebut dinilai kurang adil, Nuril bisa mengajukan langkah hukum selanjutnya, yakni grasi.
Langkah hukum yang disarankan Jokowi ini berbeda dengan permintaan Koalisi Save Nuril yang menginginkan adanya amnesti. "Kalau sudah mengajukan grasi, itu bagian saya," kata Jokowi di Lamongan, Jawa Timur, seperti dikutip dari keterangan resmi Sekretariat Presiden, Senin (19/11).
Jokowi memberi dukungan kepada guru SMAN 7 Mataram tersebut dalam mencari keadilan. Di sisi lain, ia sebagai kepala pemerintahan tidak dapat mencampuri keputusan Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi MA, Nuril dinyatakan melanggar pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Saya tidak mungkin intervensi putusan tersebut," kata Jokowi.
Jokowi berharap, MA dapat memberikan putusan yang adil bagi Nuril dalam Peninjauan Kembali (PK) kasus ini. "Saya sangat mendukung Ibu Nuril dalam mencari keadilan," kata Jokowi.
(Baca: Datangi Istana, Koalisi Save Nuril Minta Jokowi Beri Amnesti)
Kasus Nuril bermula ketika ia merekam pembicaraannya dengan atasannya, yakni Kepala Sekolah SMA 7, yang dianggapnya bernada pelecehan secara asusila. Namun buntutnya, rekaman tersebar dan sang Kepsek melaporkan dirinya dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Koalisi Save Nuril pun menyerahkan petisi yang ditandatangani oleh 80.000 orang kepada Presiden Jokowi melalui Kantor Staf Presiden (KSP).
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, KSP telah menerima petisi dan surat dari koalisi. "Harapannya Presiden mempertimbangkan baik kasus ini," kata Anggara.
Koalisi saat ini hanya memikirkan soal amnesti lantaran pemberian grasi dibatasi sejumlah aturan. Apabila grasi diberikan maka seseorang harus menjadi terpidana paling tidak dua tahun penjara. Padahal, Nuril hanya dipidanakan selama enam bulan kurungan. "Selain itu, tidak adil kalau orang yang tidak melakukan kesalahan minta diampuni kesalahannya," ujar Anggara.
Ia juga mengatakan, ada kejanggalan dalam keputusan MA di mana MA malah mengadili fakta. Padahal, rekaman asli pembicaraan tersebut tidak pernah ditemukan dan pemeriksaan hanya mengandalkan barang bukti berupa salinan rekaman saja. "Tentu ini bagian dari rekayasa yang menurut kami tidak fair," kata Anggara.
Koalisi juga enggan memilih opsi Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MA. Jika opsi tersebut ditempuh, Nuril tetap harus menjalani hukuman terlebih dahulu di lembaga pemasyarakatan. Eksekusi keputusan MA ini akan dilaksanakan pada 21 November 2018.
(Baca: Hormati Putusan MA, Rudiantara Minta Usut Penyebar Konten Guru Nuril)