Pemerintah Periksa Izin 20 Juta Hektare Lahan Perkebunan Sawit
Pemerintah bakal memeriksa izin perkebunan kelapa sawit seluas 20 juta hektare. Pemeriksaan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit hingga tiga tahun ke depan terhitung sejak Agustus 2018.
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Bambang, menyatakan pihaknyua telah bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dalam mendata luas lahan. "Izin lokasi yang terekam sudah ada sekitar 20 juta hektare," kata Bambang di Jakarta, Rabu (28/11).
Berdasarkan pantauan citra satelit, sebanyak 16,8 juta hektare sudah tertutup oleh tanaman kelapa sawit. Padahal, data milik Kementerian Pertanian hanya merekam izin perkebunan kelapa sawit seluas 14,31 juta hektare. Alhasil, ada izin tak tercatat sekitar 2,77 juta hektare.
(Baca: Pemerintah Evaluasi Izin 2,3 Juta Hektare Perkebunan Sawit)
Data Kementerian Pertanian juga mencatat luas perkebunan sawit rakyat sebesar 5,81 juta hektare atau 40,59% dari luas lahan sawit yang berizin, disertai perusahaan besar swasta 7,79 juta hektare atau 54,43% dan perkebunan besar negara seluas 713,12 ribu hektare atau 4,98%.
Bambang mengungkapkan, Inpres 8/2018 bertujuan untuk merekam pendataan dengan tepat sehingga produk kelapa sawit Indonesia mempunyai ketelusuran. Sebab, kampanye hitam sawit terus mengungkit masalah asal-muasal tanaman sawit yang tidak ramah lingkungan.
Karenanya, jika masalah pendataan izin sudah berhasil diselesaikan pemerintah berharap pihak asing bisa menerima kelapa sawit dari Indonesia. "Tujuannya supaya perkebunan sawit nasional itu menjadi legal," ujar Bambang.
Menurutnya, lahan seluas 20 juta hektare bakal diteliti oleh kementerian dan lembaga bersama pemerintah daerah berdasarkan mandat Inpres 8/2018. Pengusaha bakal mendapatkan persetujuan untuk pelepasan kawasan hutan jika hasil kajiannya memperbolehkan. Jika tidak, perkebunan sawit akan kembali menjadi kawasan hutan produksi.
(Baca: Jokowi Teken Inpres Penghentian Sementara Perluasan Lahan Sawit)
Setelah mendapatkan persetujuan pelepasan jadi perkebunan kelapa sawit, pengusaha baru bisa mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dan izin perkebunan. Sehingga, pengusaha mendapatkan kejelasan akses untuk perkebunan kelapa sawit.
Begitu juga untuk petani rakyat yang kebun sawitnya berpotensi masuk ke dalam kawasan hutan. Verifikasi pemerintah menentukan pengembalian kebun menjadi hutan atau persetujuan untuk penggunaannya.
Nantinya, pemerintah akan memberikan sertifikat kepada petani atas persetujuan penggunaan lahan. Jika tidak, petani bakal mendapatkan tempat baru untuk tanaman perkebunan di lokasi yang tak melanggar aturan.
Oleh karenanya, menurut Bambang ada kemungkinan penambahan atau pengurangan data izin dari 14,03 juta hektare. "Jadi jangan kaget kalau ada tambahan lahan baru, itu bukan perluasan tetapi izin hasil verifikasi," katanya.
(Baca juga: Beda dengan RI, Amerika Batasi Biodiesel Maksimal 20%)
Meski demikian dia menekankan pemerintah tetap tak akan memperluas kebun sawit. Setelah pendataan selesai, upaya untuk meningkatkan produksi akan diarahkan dengan peningkatan produktivitas dengan intensifikasi pertanian baik melalui kemitraan antara pengusaha dan petani rakyat. Selain itu, pemerintah terus menggalakkan peremajaan perkebunan sawit supaya produktivitasnya meningkat.
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mendukung pendataan perkebunan kelapa sawit untuk petani dan pengusaha. Namun, pemerintah harus memberikan definisi yang jelas untuk persyaratan izin persetujuan untuk pelepasan lahan.
SPKS mengungkapkan pembinaan dan pemberdayaan petani serta pendanaan dari pemerintah harus tepat untuk petani yang sudah terdaftar. "Kami harap pemerintah memberikan sertifikat gratis kepada petani perkebunan rakyat dan solusi yang baik bagi yang masuk ke dalam kawasan hutan," ujar Darto.
Dia menjelaskan, legalitas yang penuh untuk perkebunan kelapa sawit bakal memudahkan petani untuk menerima sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selain itu, pendataan untuk peremajaan sawit juga semakin mudah untuk meningkatkan produktivitas.
Sementara itu, Direktur Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebut moratorium sawit berdampak positif untuk produk kelapa sawit Indonesia. Sebab, masih banyak perusahaan besar yang melakukan eksploitasi hutan dan tenaga kerja.
Greenpeace juga ingin terus memantau perkebunan kelapa sawit Indonesia supaya memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. "Komitmen pemerintah untuk sawit berkelanjutan sangat baik, kami ingin ikut dalam perubahan yang fundamental," kata Leonard.