Pemerintah Ungkap Alasan Tarif PLTS Atap Dipatok 65%
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan alasan menentukan tarif listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap hanya 65%. Klausul ini lah yang dianggap kurang menarik bagi investor.
Namun, menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, hal tersebut tidak perlu dipersoalkan. Ini karena potongan 35% itu sebagai bentuk kompensasi bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) yang telah menyediakan alat ukur ekspor-impor listrik. “Yang pasti 65% tidak lagi untuk diperdebatkan," kata dia, di Jakarta, Rabu (28/11).
Rida juga mengatakan formula itu sudah diperhitungkan secara matang, termasuk mengenai pengembalian biaya investasi konsumen PLTS Atap. Dari perhitungan Kementerian ESDM, jika menggunakan formula 65%, pengembalian investasi membutuhkan waktu 12 tahun. Namun, jika 100%, bisa lebih cepat yakni 11 tahun 6 bulan.
Alhasil, skema itu dinilai tidak jauh berbeda. “Tidak begitu signifikan yang bisa di ekspornya, " kata Rida.
Formula yang dimaksud adalah mengenai harga jual listrik yang dihasilkan pelaku usaha ke PLN. Pasal 6 aturan itu menyebutkan menyebutkan energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kilowatt hour (kWh) Ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% tarif listrik.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PT PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan tidak semua listrik PLTS Atap bisa dijual ke PLN. Apalagi jika musim hujan, di Jakarta radiasi matahari untuk panel surya rata-rata hanya tiga jam per hari.
"Sekarang saya pakai 3 Kilowatt Peak, produksinya hanya 1 killowatt hour. Di jakarta musim hujan lebih rendah lagi, radiasi 3 jam," kata dia.
(Baca: Aturan Baru Membuat Tagihan Listrik Pengguna PLTS Atap Lebih Mahal)
Adapun, tujuan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang PLTS Atap oleh konsumen PLN untuk meningkatkan penggunaan Energi Baru terbarukan (EBT), dan penggunaan energi yang ramah lingkungan. Indonesia juga sudah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk mencapai bauran energi 23% pada tahun 2025.