Taspen Bantah Memiliki Utang Rp 222 Triliun
PT Taspen (Persero) membantah memiliki utang sebesar Rp 222 triliun sebagaimana banyak diberitakan. Manajemen perusahaan menjelaskan angka Rp 222 triliun tersebut merupakan prognosis liabilitas tahun ini. Namun, liabilitas yang dimaksud bukanlah utang.
Liabilitas tersebut terdiri dari dua komponen yaitu pencadangan atas kewajiban pembayaran klaim jatuh tempo alias pembayaran klaim bila Pegawai Negeri Sipil (PNS) pensiun, meninggal dan keluar. Selain itu, dana Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) yang merupakan dana iuran pensiun peserta PNS serta hasil pengembangan.
Kedua komponen tersebut disebut sebagai liabilitas karena merupakan kewajiban dari Taspen untuk membayarkan dana tersebut kepada peserta. "Jadi Rp 222 triliun itu jelas bukan utang. Tidak lagi ada utang kok," kata Direktur Utama Taspen Iqbal Latanro saat ditemui di komplek perlemen, Jakarta, Selasa (4/12).
(Baca juga: Kementerian BUMN: Utang Perusahaan BUMN Tak Sampai Rp 2.488 Triliun)
Ia menjelaskan, Taspen memiliki program Tabungan Hari Tua (THT). Dalam program itu, Taspen harus membayar THT tersebut saat pemegang polis, dalam hal ini PNS, pensiun, meninggal atau keluar dari pekerjaannya. Maka itu, kewajiban ini dicatatkan sebagai liabilitas. Hal ini, menurut dia, merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian.
Menurut Iqbal, pihaknya memiliki utang, nilainya sebesar Rp 540 miliar. Utang tersebut digunakan untuk pembangunan kantor yang masih dalam proses dan rekanan-rekanan yang belum selesai. Tapi, utang tersebut pun sudah dicadangkan. "Jadi kita itu tidak punya utang, malah banyak duitnya," kata dia.
Sebelumnya, Taspen diberitakan masuk dalam 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki komposisi liabilitas terbesar. Hal ini berdasarkan data Kementerian BUMN yang dirilis dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Senin (3/12). Data tersebut memunculkan interpretasi bahwa liabilitas yang dimaksud adalah utang.
(Baca juga: Pembiayaan Usaha Bepotensi Naik, BI Harap Bukan dari Utang Luar Negeri)
BUMN lainnya yang tercatat memiliki liabilitas terbesar yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia(Persero) Tbk, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Tabungan Negara(Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Total liabilitas 10 BUMN tersebut mencapai Rp 4.478 triliun, atau 84,95% dari total liabilitas seluruh BUMN --143 BUMN -- yang sebesar Rp 5.271 triliun .
Dalam penjelasan lanjutannya, Kementerian BUMN menyatakan liabilitas yang dimaksud memang tidak seluruhnya merupakan utang dari penarikan pinjaman atau penerbitan surat utang. Di sektor keuangan, liabilitas yang dimaksud termasuk dana pihak ketiga (DPK) pada bank BUMN, serta cadangan premi dan akumulasi iuran pensiun pada BUMN asuransi.
"Simpanan DPK termasuk uang yang ada di rekening nasabah, itu secara accounting memang utang. Tapi itu konsepnya simpanan, tidak dibayarkan," kata Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro di kantornya, Selasa (4/12).
Adapun liabilitas dari sektor keuangan tercatat sebesar Rp 3.311 triliun. Aloy memerinci, dari jumlah tersebut, sebesar Rp2.448 triliun atau 74% di antaranya merupakan komponen DPK, sebesar Rp 335 triliun merupakan cadangan premi dan akumulasi iuran pensiun, sedangkan sisanya Rp 529 triliun merupakan utang dari pinjaman dan penerbitan surat berharga.