Efek Kampanye Hiperbola Prabowo-Sandiaga terhadap Demokrasi

Ameidyo Daud Nasution
6 Januari 2019, 07:38
Prabowo Ojek
ANTARAFOTO | Arif Firmansyah
Calon presiden Prabowo Subianto di tengah acara pertemuan dengan pengemudi ojek online di lapangan parkir Sirkuit Internasional Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 16 Desember 2018

Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kerap melontarkan pernyataan-pernyataan yang salah dalam kampanye Pilpres 2019. Strategi kampanye hiperbolik ini dilakukan secara sengaja agar menjadi perbincangan publik. Namun, strategi kampanye semacam ini dinilai dapat menurunkan kualitas demokrasi karena masyarakat sulit membedakan kondisi riil dengan kabar bohong (hoaks).

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, strategi kampanye hiperbolik ini terutama terlihat pada Sandiaga yang relatif paling baru terjun di dunia politik praktis sehingga perlu menjadi bahan pembicaraan dan dilihat oleh publik. Belum lama ini Sandiaga menyebutkan ia membangun tol Cikampek-Palimanan (Cipali) tanpa utang. Faktanya, PT Lintas Marga Sedaya (LMS) yang membangun tol tersebut mendapatkan pinjaman sindikasi 22 perbankan senilai Rp 8,8 triliun pada 2012.

Belakangan, Sandiaga mengklarifikasi ucapannya sendiri bahwa tol tersebut dibangun tanpa melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian, pernyataan Sandiaga soal tempe setipis kartu ATM ketika ia membicarakan kenaikan harga sejumlah bahan pokok.

Hal-hal tersebut praktis membuat Sandiaga terlihat unggul ketimbang lawannya. "Dibanding Ma'ruf Amin, dia berhasil lakukan itu," kata Yunarto kepada Katadata.co.id.

Sedangkan untuk Prabowo, Yunarto melihat ada kecenderungan pernyataan yang dilontarkannya spontan dan impulsif. Apalagi, kata-kata Prabowo sering dikeluarkan dalam pidato satu arah dan diliputi emosi yang berlebihan. "Jadi tanpa sadar data dan kalimatnya salah," kata Yunarto.

Misalnya, ketika Prabowo berpidato di hadapan Majelis Tafsir Al Qur'an (MTA) di Solo pada 23 Desember 2018. Ia menyebut banyak penduduk Indonesia yang hidup pas-pasan karena pemerintah menerapkan kebijakan yang salah di bidang ekonomi. "Kita (Indonesia) setingkat dengan negara miskin di benua Afrika: ada Rwanda, Haiti dan pulau-pulau kecil Kiribati, yang kita tidak tahu letaknya di mana," kata Prabowo seperti dikutip Tempo.co.

Padahal, Haiti bukan negara yang terletak di benua Afrika melainkan di Kepulauan Karibia, di benua Amerika bagian utara. Jika dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, Haiti pada 2017 hanya sebesar US$ 765,68 sedangkan Indonesia sebesar US$ 3.846,86.

Yunarto mengatakan, pernyataan demi pernyataan yang tidak benar ini dapat menurunkan kualitas demokrasi mengingat pertarungan kedua calon hanya berbicara soal hoaks dan klarifikasi saja. Hal ini disebutnya lebih berbahaya dibandingkan perhelatan Pilpres 2014 lantaran hoaks serta pernyataan salah tidak lagi menyasar pribadi tetapi juga kebijakan pemerintah. "Yang terjadi, masyarakat sulit membedakan kondisi riil dan hoaks," kata dia.

Meski demikian, efektifitas misinformasi ini juga tergantung bagaimana pasangan lawannya, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin membuat klarifikasi. Kalau pasangan nomor urut 01 tersebut dapat membuktikan kebohongan tersebut secara masif maka akan jadi keuntungan tersendiri.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...