Isu Ekonomi dan Blunder Debat Bisa Geser Pemilih Jokowi dan Prabowo
Perpindahan suara calon pemilih pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih mungkin terjadi dalam dua setengah bulan ke depan. Ada dua isu yang dapat menggeser suara dari masing-masing pasangan calon (paslon), yakni isu ekonomi dan blunder debat.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, persoalan ekonomi seperti inflasi hingga harga sembako merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat. Isu ini akan vital bahkan melebihi isu Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kerap menyasar salah satu calon presiden (capres). Selain itu, blunder dalam debat juga dapat berdampak mengingat debat capres disaksikan masyarakat seantero negeri ini ketimbang kampanye.
"Kampanye terbuka sebanyak apapun akan kecil dampaknya," kata Burhanudin usai acara Peluang dan Risiko Investasi Jelang Pilpres yang digelar Katadata Insight Center (KIC) di Jakarta, Rabu (30/1).
Meski demikian, Burhanuddin belum bisa menakar apakah faktor-faktor lain, seperti bebasnya Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dari penjara hingga wacana pembebasan Abu Bakar Baasyir akan berdampak pada naik turunnya suara Jokowi. Dia beralasan, Indikator belum membuat sigi terkait hal itu. "Saya belum hitung, jadi belum bisa berkomentar," kata dia.
Dalam presentasinya, Burhanuddin juga menyebutkan bahwa persoalan persepsi masyarakat lebih penting dalam sudut pandang politik. Hal ini berpotensi membuat fakta-fakta ekonomi dikesampingkan dalam pemilihan.
Dalam survei nasional yang digelar Indikator pada Desember lalu, 38% responden menyatakan kondisi ekonomi pada 2018 lebih baik dibandingkan dengan 2017. Angka ini turun dibandingkan hasil survei Februari 2018 di mana 43% responden menyatakan ekonomi 2018 lebih baik ketimbang 2017.
(Baca: LSI Denny JA: Pascadebat Pertama, Elektabilitas Paslon Stagnan)
Sementara, 22% responden mengaku ekonomi lebih buruk pada Desember 2018 dibandingkan periode yang sama 2017. Hal ini menunjukkan masyarakat yang merasa ekonomi lebih buruk meningkat dibandingkan hasil survei Februari 2018 sebanyak 20%.
"Biasanya ini karena (kebijakan) harga, pernah tertinggi pada Oktober 2015 itu biasanya karena dampak harga Bahan Bakar Minyak (BBM)," kata Burhanuddin merujuk angka masyarakat yang menyebut ekonomi buruk sebesar 42% pada Oktober 2015.
Meski begitu secara keseluruhan, lebih banyak masyarakat yang menganggap ekonomi saat ini lebih baik dan jauh lebih baik ketimbang yang berpendapat lebih buruk dan jauh lebih buruk. Apabila ditotal, jumlah masyarakat yang menilai positif kondisi ekonomi nasional mencapai 38%, sedangkan yang anggap negatif hanya 21%. "Sejak 2016 memang lebih banyak yang bilang lebih baik daripada yang bilang tambah buruk," ujar dia.
Sementara itu, hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan elektabilitas kedua paslon pascadebat putaran pertama masih stagnan. Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf pada Januari 2019 mencapai 54,8% atau meningkat 0,6% jika dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2018 yang sebesar 54,2%. Sementara, elektabilitas Prabowo-Sandiaga pada Januari 2019 sebesar 31%. Angka ini hanya naik sebesar 0,4% jika dibandingkan pada Desember 2019 yang sebesar 30,6%.
Dalam survei ini, responden yang menyatakan belum menentukan pilihan sebesar 14,2%. "Survei LSI Denny JA pascadebat pertama menunjukkan, tak ada perubahan signifikan dari elektabilitas kedua pasangan calon," kata Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby.
(Baca: Jokowi dan Prabowo Saling Rebut Suara Mengambang di Debat Capres)