Tanggapi Jokowi, Kedubes Rusia: Kami Tidak Ikut Campur Proses Pemilu
Pemerintah Rusia membantah pernyataan Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) soal adanya 'propaganda Rusia' untuk memenangkan salah satu kandidat dalam pemilihan presiden (Pilpres), pada April 2019. Melalui keterangan resmi di akun Twitternya, Kedutaan Besar Rusia di Indonesia membantah adanya propaganda tersebut.
Kedubes Rusia juga menyebut istilah yang lahir dari pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 tersebut merupakan rekayasa dan tidak didasarkan realitas yang ada. Pihak Kedubes juga membantah adanya campur tangan terhadap proses elektoral negara lain, termasuk dalam hal ini Indonesia yang dianggap sahabat dan mitra.
"Posisi prinsipil Rusia tidak campur tangan urusan dalam negeri dan proses elektoral negara asing, termasuk Indonesia," demikian keterangan Kedubes Rusia dalam akun @RusEmbJakarta, Senin (4/2).
Bukan hanya itu, pihak Kedubes juga menandai kembali beberapa momen foto Jokowi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Singapura pada November 2018. Dalam foto tersebut, terlihat Jokowi sedang berjabat tangan dengan Putin dalam pertemuan bilateral yang digelar di sela-sela KTT ASEAN. "Istilah (propaganda Rusia) ini sama sekali tidak berdasarkan realitas," demikian keterangan Kedubes Rusia.
(Baca: Hoaks Marak, Jokowi: Penyebar Isu Ingin Pemerintah Terlihat Bersalah)
Jokowi di sela-sela kunjungannya di Jawa Tengah menuding ada kandidat lain yang menggunakan konsultan asing dalam Pilpres 2019. Konsultan asing itu menebar kabar bohong (hoaks) agar masyarakat meragukan kinerja pemerintah.
Strategi ini, lanjut Jokowi, mengadopsi 'propaganda Rusia' untuk memenangkan kontestasi politik. Ia menyebut propaganda Rusia yang ditiru konsultan tersebut dilakukan dengan menyebarkan kabar bohong sebanyak-banyaknya. Ini ditujukan agar masyarakat menjadi ragu atas kinerja pemerintah selama ini. "Yang dipakai konsultan asing," kata Jokowi kemarin.
Mereka tidak berpikir akan dampak negatif yang dibawa ketika menyebarkan hoaks. "Enggak berpikir (hoaks) ini memecah-belah rakyat atau tidak, menganggu ketenangan rakyat atau tidak, membuat rakyat khawatir atau tidak, membuat rakyat takut, enggak peduli," kata Jokowi.
(Baca: Jokowi Sebut Ada Kandidat Pilpres yang Gunakan Konsultan Asing )
Istilah 'propaganda Rusia' muncul dalam perhelatan Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 silam. Laporan United States Intelligence Community (IC) pada Oktober 2016 mengenai keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS 2016 dikonfirmasi oleh kantor Direktur Intelijen Nasional AS tiga bulan kemudian.
Keterlibatan Rusia dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui Internet Research Agency yang membuat ratusan akun media sosial yang meniru pendukung kelompok-kelompok radikal, merencanakan dan mendorong unjuk rasa yang meraih jutaan pengguna media sosial antara 2013-2017. Hal ini dilakukan untuk menyebarkan ketidakpercayaan terhadap para kandidat dan sistem politik secara keseluruhan.
Kedua, melalui para peretas (hacker) yang berafiliasi dengan biro intelijen militer Rusia. Mereka meretas sistem komputer Komite Nasional Demokrat, komputer anggota Kongres dari Partai Demokrat dan para pejabat kampanye Hillary Clinton. Hal ini menyebabkan bocornya puluhan ribu surat elektronik, termasuk surat elektronik pribadi Clinton.