Tumbuh di Bawah Ekspektasi, Industri Makanan Terancam Daya Beli
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan industri makanan sepanjang 2018 hanya 7,40%, di bawah target antara 8% hingga 9%. Pengusaha mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat sebagai penyebab.
"Sesuai laporan dari peretail, daya beli turun," kata Kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman kepada Katadata.co.id, Sabtu (2/2) lalu. Sementara, data BPS menyebut pertumbuhan produksi industri minuman pada 2018 mencapai 16,04%.
BPS menyebut industri makanan punya porsi 25,41% terhadap industri manufaktur besar dan sedang. Meski, Gapmmi mengklaim porsi industri makanan dan minuman mencapai 80% dari keseluruhan industri pengolahan.
Untuk industri manufaktur mikro dan kecil, industri makanan pada kuartal IV tumbuh 1,03% secara kuartal, menyebabkan capaian 2018 sebesar 4,70%. Sementara itu, pada periode yang sama, industri minuman tumbuh lebih tinggi 1,93% secara kuartal, sehingga pertumbuhan produksi 2018 sebesar 5,45%.
(Baca: Naik 4,07%, Produksi Industri Manufaktur 2018 Tumbuh Melambat)
Adhi meminta supaya pemerintah terus meningkatkan daya beli masyarakat. "Pemerintah bisa mendorong insentif untuk konsumsi masyarakat, khususnya kelas bawah," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan konsumsi relatif lambat dengan pertumbuhan di kisaran 5%. Alhasil, permintaan pasar dalam negeri menjadi stagnan.
Menurut Bhima, tahun politik juga membuat produsen cenderung berhati-hati untuk ekspansi. "Kenaikan suku bunga kredit juga menambah ongkos pinjaman oleh pengusaha," katanya.
Dia menyarankan pengusaha supaya melakukan efisiensi di segala lini produksi. Strategi pemangkasan biaya merupakan jalan keluar dari tekanan naiknya biaya produksi.
Kemudian, dia meminta supaya pemerintah mendesain insentif fiskal yang spesifik pada sektor-sektor yang mengalami pelemahan. Sepanjang 2018, pelemahan juga terjadi pada sektor elektronik, jasa reparasi, industri bahan kimia, serta industri kayu.
Bhima menyebutkan, volatilitas kurs rupiah sepanjang 2018 memicu kenaikan biaya impor bahan baku. Sehingga, peningkatan pasar ekspor mesti dipacu karena terjadi perlambatan. "Insentif tarif ekspor dan pemangkasan ekspor juga harus beserta perluasan pasar nontradisional," ujar Bhima.
(Baca: Jelang Pilpres, Investor Khawatirkan Ekonomi Global Daripada Politik)
Akhir pekan lalu, BPS mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada 2018 sebesar 4,07%, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2017 yang mencapai 4,74%.
Kepala BPS Suharyanto menyatakan performa industri manufaktur besar dan sedang menghadapi tantangan berat sepanjang 2018. "Perang dagang antara AS dan Tiongkok sangat berpengaruh, ada lagi perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor," kata Suharyanto, Jumat (2/1) lalu.
BPS menyoroti industri makanan yang tumbuh sebesar 7,40% dengan pangsa 25,41% dari keseluruhan produksi, jauh dari target untuk berkembang di atas 8%. "Fluktuasi harga komoditas misalnya CPO sangat berpengaruh pada performa industri manufaktur besar dan sedang," ujar Suharyanto.