Lima Agenda Penting Sektor Energi yang Jadi PR Presiden Terpilih
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai ada lima agenda utama yang harus dijalankan Presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden April mendatang. Lima agenda ini terkait pembenahan tata kelola sektor energi dalam jangka panjang.
Direktur Eksekutif Fabby Tumiwa IESR mengatakan hal pertama yang harus dikerjakan Presiden terpilih adalah memikirkan cara untuk mengurangi penggunaan energi berbasis fosil sebagai energi primer. Dia menyebutkan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membangun energi terbarukan secara bertahap.
Indonesia tidak bisa terus bergantung dengan energi fosil yang memiliki cadangan terbatas. Karena, ketika cadangan fosil berkurang, harga energi ini akan menjadi mahal. Sementara, biaya awal untuk membangun pembangkit energi terbarukan memang lebih mahal. Namun dalam jangka panjang, biaya operasionalnya akan lebih kecil dibandingkan pembangkit energi fosil.
(Baca: 4 Penyebab Pelaku Usaha Energi Terbarukan Sulit Dapat Pendanaan)
"Kalau kita lihat RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) lebih banyak menggunakan energi batu bara. Padahal investasi energi terbarukan akan semakin murah," kata dia, di Jakarta, Rabu (13/2). Adapun, dalam RUPTL 2018-2027, pembangkit energi batu bara masih mendominasi sekitar 54,4%. Di susul energi baru terbarukan 23%, gas 22,2% dan Bahan Bakar Minyak (BBM) 0,4%.
Kedua, memberantas mafia minyak dan gas ( migas). Pembenahan sektor migas menjadi agenda yang sangat penting, karena menyangkut banyak pihak. Ketiga, komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dan mencapai bauran energi terbarukan 23% pada 2025 yang tertuang dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement). Agenda ini penting karena berdampak baik bagi lingkungan. "Ini menjadi agenda aksi harus dirumuskan. Kedua Capres (Calon Presiden) belum membicarakan soal ini," kata dia.
(Baca: Delapan Pekerjaan Rumah Calon Presiden di Sektor Energi)
Keempat, capres tidak hanya memikirkan energi yang berkelanjutan tetapi juga harga energi yang murah, dan distribusi yang merata. Kelima, membuat kebijakan yang progresif untuk bisa meningkatkan investasi di sektor energi. Pada tahun lalu target investasi di sektor energi yang dipatok US$ 37,2 miliar hanya tercapai US$ 32,2 miliar. Investasi energi terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penurunan investasi telah terjadi sejak lima tahun lalu. Tahun 2014, investasi sektor energi mencapai US$ 33,5 miliar, lalu 2015 hanya US$ 32,3 miliar, setahun berikutnya US$ 29,7 miliar dan tahun 2017 Cuma US$ 27,5 miliar.
Dalam kurun waktu itu penurunan paling konsisten terjadi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar.
Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika, sektor energi menjadi hal yang vital yang bisa memengaruhi perekonomian negara. Sektor ini sangat berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), devisa negara, neraca perdagangan. "Makanya benar-benar butuh arahan," kata dia.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan tahun 2018. Nilai impor sepanjang tahun lalu sebesar US$ 188 miliar atau melonjak 20,15% dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, ekspor hanya mampu US$ 162 miliar atau hanya tumbuh 6,65%. Salah satu penyebab besarnya defisit tahun lalu adalah neraca dagang minyak dan gas (migas).
Kebutuhan minyak yang besar memaksa Indonesia harus membayar impor hingga US$ 29,8 miliar. Sedangkan sebagai negara penghasil ekspor hanya mampu membukukan US$ 17,4 miliar. Alhasil, perdagangan migas mencatatkan defisit US$ 12,4 miliar atau melonjak 45% dibandingkan tahun sebelumnya.