BI Sebut Pelemahan Rupiah Imbas Defisit Transaksi Berjalan
Mata uang rupiah sempat mengalami pelemahan yang terdalam di antara negara Asia lainnya pada pekan lalu. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan pelemahan itu terjadi karena transaksi berjalan yang defisit.
"Negara yang mata uangnya paling berdampak merupakan negara yang mengalami defisit transaksi berjalan," kata dia dalam Maybank Economic Outlook 2019 di Jakarta, Senin (11/3).
Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun lalu. Angka ini nyaris mendekati batas aman tiga persen PDB.
Kondisi tersebut terjadi karena Indonesia tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan harga komoditas yang jatuh. Kedua hal tersebut mengakibatkan jumlah impor meningkat dan ekspor terhambat.
Oleh karena itu, Mirza berharap Indonesia dapat meniru Thailand yang dapat membalikkan defisit transaksi berjalannya. Pada 2012, Thailand mengalami defisit transksi berjalan sebesar 0,4% terhadap PDB. Defisit semakin dalam menjadi 1,2% terhadap PDB pada 2013. Namun, angka itu kembali surplus mulai 2014 hingga mencapai 10,6% terhadap PDB.
Upaya menekan defisit transaksi berjalan, Indonesia bisa mendorong ekspor dan sektor pariwisata. Dengan peningkatan kedua hal tersebut maka jumlah pasokan dolar di dalam negeri bertambah, Kebutuhan pembayaran deviden dan transaksi impor terpenuhi.
Dalam jangka panjang, BI juga berupaya menstabilkan rupiah dengan mengurangi pemakaian dolar AS. Salah satu caranya, bank sentral bekerja sama dengan Bank Negara Malaysia dan Bank of Thailand sehingga transaksi antar negara-negara tersebut nantinya memakai mata uang rupiah-ringgit dan rupiah-baht.
(Baca: Rupiah Jatuh ke Level 14.300/US$, Terlemah Dalam Dua Bulan)
Setali tiga uang, Kepala Ekonom Maybank Investment Suhaimi Ilias juga mengatakan perekonomian perlu didorong melalui peningkatan ekspor dan industrialisasi. Menurut dia, sektor manufaktur Indonesia masih belum berkembang dibandingkan negara Asia lainnya.
"Indonesia lebih mendorong sektor pertambangan dan jasa. Padahal, pengembangan manufaktur bisa membantu masalah defisit transaksi berjalan," ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong ekspor, melakukan industrialisasi, dan mendorong penanaman modal asing berbasis ekspor.
(Baca: Turun Bersama Mata Uang Asia, Rupiah Melemah ke Rp 14.100 per Dolar AS)
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam sebelumnya mengatakan, pelemahan rupiah bukan disebabkan oleh faktor fundamental, melainkan lantaran adanya aksi spekulan.
"Ketika sentimen terjadi, rupiah yang sudah mengalami penguatan terbesar cenderung mendapat tekanan terbesar. Kadang ada permainan juga. Kalau tidak volatile besar, pemain tidak bisa untung besar," kata dia kepada Katadata.co.id.
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah saat ini berada pada posisi 14.286 per dolar AS. Artinya, rupiah telah melemah 0,73% dibandingkan posisi awal tahun 2019. Pada akhir pekan lalu, rupiah sempat menembus 14.314 per dolar AS dan memimpin kejatuhan mata uang negara Asia.