Kisruh Laporan Keuangan, Garuda Akui Belum Terima Bayaran dari Mahata
Garuda Indonesia mengakui pihaknya belum mendapatkan pembayaran dari kerja sama dengan Mahata Aero Teknologi. Padahal, dalam laporan keuangan Garuda 2018, mereka memasukkan kerja sama ini ke pos pendapatan, sehingga perusahaan berkode bursa GIAA tersebut mampu membukukan laba bersih US$ 809.846 atau lebih dari Rp 11 miliar.
Dalam keterbukaan informasi yang diunggah oleh perusahaan atas permintaan pihak Bursa Efek Indonesia (BEI), Garuda Indonesia menjelaskan, pembayaran seharusnya diterima oleh perusahaan setelah penandatanganan kontrak kerja sama. "Saat ini Mahata sedang dalam proses finalisasi dengan investor," demikian tertulis dalam surat yang ditanda tangani oleh Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal, Senin (6/5).
(Baca: Kisruh Lapkeu Garuda, OJK: Hanya Masalah Komunikasi dengan Direksi)
Sesuai perjanjian, Garuda Indonesia dengan Mahata menjalin kerja sama untuk penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan berupa Wi-Fi, pengelolaan In-Flight Entertaiment dan manajamen konten. Periode kerja sama selama 15 tahun.
Kewajiban Mahata dari mulai penyediaan, pemasangan, perawatan, perbaikan, hingga pembongkaran peralatan layanan. Mahata menanggung seluruh biaya atas aktivitas tersebut. Peralatan juga wajib diasuransikan.
Di sisi lain, grup Garuda yaitu Citilink, Garuda, dan Sriwijaya wajib menyediakan pesawat sesuai yang tercantum pada Aircraft List of Services kepada Mahata, untuk dipasangkan peralatan layanan. Kewajiban lainnya, yaitu bertanggung jawab atas kerusakan peralatan layanan.
Dari kerja sama tersebut, Garuda Indonesia semestinya memperoleh pendapatan berupa kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan tersebut. Besarannya, US$ 241,94 juta untuk pesawat Garuda, Citilink, dan Sriwijaya. Pembayaran sejatinya dilakukan setelah penandatangan kontrak kerja sama.
(Baca: Kisruh Laporan Keuangan Garuda, Kementerian BUMN Tak Bisa Intervensi)
Selain itu, ada juga pendapatan dari alokasi slot yang ditentukan berdasarkan aktual pendapatan iklan yang didapat. Mahata wajib membayar alokasi slot kepada Citilink sesuai pesawat terhubung.
Hingga saat ini, grup Garuda telah menikmati layanan wifi di satu unit pesawat Citilink, sejak Desember 2018. "Tahapan pemasangan sampai dengan pengoperasian connectivity and wifi pada pesawat pertama untuk satu tipe pesawat diperkirakan akan memerlukan waktu kurang lebih enam bulan untuk penyelesaian beberapa proses," demikian tertulis.
Garuda Indonesia mengakui belum menerima pembayaran sesuai perjanjian kerja sama. Penalti atas keterlambatan pembayaran akan disepakati di amandemen kontrak. Perseroan tidak menagih kepada Mahata lantaran pihaknya telah menerbitkan invoice kepada Mahata untuk seluruh kewajiban. Untuk memastikan pembayaran dilakukan oleh Mahata, perusahaan telah melakukan korespodensi dan pembahasan penyelesaian kewajiban Mahata.
Pembayaran tersebut dapat diklasifikan sebagai piutang tidak tertagih, bila ketika dalam assessment, Garuda yakin bahwa tingkat kolektalibilitas piutang tersebut rendah. Ketika kolektabilitasnya rendah, “Maka perseroan akan mengakui beban piutang tak tertagih pada laporan laba-rugi perseroan," demikian tertulis.
(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)
Lantas, apakah terdapat jaminan yang diterima perusahaan dari Mahata? Berdasarkan perjanjian kerja sama, ketentuan mengenai jaminan pelaksanaan dari Mahata yang akan diatur kemudian dalam kesepakatan lebih lanjut (addendum).
Namun, selama belum ada kesepakatan tersebut, yang berlaku dalam perjanjian ini adalah jaminan umum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1131. "Berarti, jika terjadi wanprestasi, maka secara otomatis harta kekayaan Mahata menjadi jaminan," demikian tertulis.
Adapun Mahata baru berdiri 11 bulan saat Garuda menunjuknya sebagai penyedia jasa. Namun, Garuda menyatakan, Mahata yang merupakan perusahaan startup telah memiliki kontrak kerja sama dengan perusahaan internasional Lufthansa system, Lufthansa Tecnic dan Inmarsat.
“Selain itu, Mahata merupakan perusahaan startup yang didukung oleh induk perusahaan yaitu Global Mahata Group yang memiliki 10 ribu pegawai dengan cakupan bisnis pertambangan timbah, inflight connectivity, dan tenaga keamanan. Nilai bisnis Global Mahata Group secara total adalah US$ 640,5 juta,” demikian tertulis.
Sebelumnya, dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan Garuda 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan PSAK.
Menurut mereka, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar.
Keberatan dua komisaris Garuda Indonesia tersebut didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditanda tangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni Citilink Indonesia dengan Mahata. Menurut mereka, komitmen dari Mahata yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.