The Fed Batal Pangkas Suku Bunga Acuan, Pasar Bereaksi Negatif
Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) melenyapkan ekspektasi pasar untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Juli nanti. Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan independensi bank sentral yang tak akan terpengaruh dengan tekanan Presiden AS Donald Trump dan pelaku pasar.
“The Fed bebas dari tekanan politik jangka pendek,” kata Powell seperti dikutip dari Reuters, Rabu (26/6). “Kami tidak bekerja untuk menyelesaikan masalah ekonomi jangka pendek. Kami harus melihat lebih dari itu.”
Sebelumnya, Presiden Trump mendesak The Fed untuk melakukan pemotongan suku bunga yang agresif untuk mendorong perekonomian negaranya. Gubernur Federal Reserve St. Louis James Bullard kemarin mengatakan, situasi ekonomi AS belum cukup mengerikan sehingga perlu pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin.
“Saya pikir 50 basis poin akan berlebihan,” kata Bullard dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television. “Saya tidak berpikir situasinya benar-benar membutuhkan, tapi saya bersedia sebesar 25 basis poin.”
(Baca: Rencana Pertemuan Trump-Xi Jinping Membuat Harga Emas Terus Naik)
Akibat dari pernyataan The Fed itu, bursa saham Asia pagi ini dibuka rontok. Indeks Nikkei 225 turun 0,46%, Topix 0,5%, Shanghai 0,2%, dan Hang Seng 0,04%. IHSG menguat tipis 0,05%. Di bursa Amerika Serikat, indeks Dow Jones semalam ditutup turun 179 poin. S&P 500 turun 0,95% dan Nasdaq anjlok 1,51%.
Pelaku pasar saat ini berharap ada kabar baik dari pertemuan Presiden Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pertemuan dagang yang akan digelar pada Sabtu nanti berbarengan dengan acara G20 di Jepang. Jika kedua pihak menemui kesepakatan, maka perekonomian global diharapkan bisa bergairah kembali.
Pemerintah AS kabarnya bersedia menunda kenaikan tarif untuk produk impor Tiongkok senilai US$ 300 miliar. Syaratnya, Beijing harus mau melakukan negosiasi. “Paling tidak, AS dan Tiongkok mau melakukan negosiasi,” kata Manpreet Gill, kepala investasi fixed income, mata uang, dan komoditas Standard Chartered Private Bank ketika diwawancara CNBC.