Musim kemarau belum lama datang, namun sudah ada puluhan titik api muncul di belantara hutan Provinsi Riau. Hasil pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, sudah ada 38 titik panas di wilayah hutan Provinsi Riau pada pertengahan Juli 2019 lalu. Padahal menurut BMKG, musim kemarau tahun ini bakal lebih panas dan kering ketimbang tahun lalu.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama beberapa dekade telah jadi suatu rutinitas krisis lingkungan tahunan. Merunut sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari catatan Badan Restorasi Gambut (BRG), pada tahun 1967, kota Palembang pekat diselimuti asap. Sekitar tahun 1970-an, giliran wilayah udara Kalimantan Selatan memutih oleh kabut asap dari kebakaran hutan.
Pascapelepasan lahan gambut untuk satu juta hektare lahan pertanian di Kalimantan Tengah tahun 1996, kebakaran hutan hebat terjadi saat kemarau panjang pada tahun 1997. Diperkirakan, 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer. Jumlah karbon akibat kebakaran hutan yang mencemari udara itu setara dengan karbon dioksida yang dihasilkan oleh 2.488 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama setahun.
Hampir dua puluh tahun kemudian, El Nino kembali ‘datang’ dan Indonesia dilanda kemarau panjang. Api mengamuk menandaskan hutan dan lahan perkebunan. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015 ini, menurut World Resources Institutes (WRI), menjadi yang terburuk setelah 1997. Sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar antara bulan Juni sampai Oktober. Lahan gambut yang menyimpan banyak karbon terbakar, membuat jutaan orang di Asia Tenggara terpapar kabut beracun yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia.
Bahkan dalam laporan World Bank Group pada 25 November 2015 ditulis bahwa kebakaran hutan dan asap Indonesia tahun itu disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. “Sejumlah besar hutan dan lahan terbakar tanpa terkendali sejak bulan Agustus 2015 dan dampaknya pada kesehatan, pendidikan, dan penghidupan jutaan masyarakat Indonesia di wilayah sekitar kebakaran sangat terasa dan merugikan. Ekonomi Indonesia juga mengalami kerugian miliaran dolar,” Bank Dunia menulis dalam laporannya.
Sejumlah besar hutan dan lahan terbakar tanpa terkendali sejak bulan Agustus 2015 dan dampaknya pada kesehatan, pendidikan, dan penghidupan jutaan masyarakat Indonesia di wilayah sekitar kebakaran sangat terasa dan merugikan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung luas area kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali luas Pulau Bali. Meski luas area belum setara dengan sebaran kebakaran hutan dan lahan tahun 1997, dampak bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dinilai lebih parah dibandingkan bencana 18 tahun sebelumnya. “Jumlah lahan yang terbakar memang lebih luas tahun 1997, tapi dampak ekonomi dan jumlah korban jiwa lebih besar tahun ini," BNPB menjelaskan kepada media pada 30 Oktober 2015. BNPB menaksir, total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun itu kurang lebih Rp 221 triliun.
Hutan dan lahan terbakar, asapnya menyebar ke mana-mana. Kualitas udara di beberapa daerah tak cuma tak layak dihirup, tapi sudah berada pada tingkat membahayakan kesehatan. Contohnya, pada 13 September 2015, BNPB menyatakan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Provinsi Jambi telah mencapai angka 408 atau berada pada level berbahaya dengan jarak pandang terjauh hanya 600 meter dan jarak pandang terendah 500 meter. Gara-gara hidup dikepung asap, berdasar catatan Kementerian Kesehatan, dari Juni hingga pertengahan Oktober 2015, ada 425.377 orang di tujuh provinsi terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Di Riau, asap menyesaki rumah warga dan nyaris tak ada rumah yang luput dari kabut asap. Pemerintah Provinsi Riau menyatakan darurat asap pada 14 September 2015, karena ISPU di ibu kota Pekanbaru menyentuh angka 984, sangat jauh di atas ambang batas kualitas udara yang layak dihirup. Angka ISPU di atas 300 masuk kriteria membahayakan kesehatan.
Begitu pula sejumlah daerah di Kalimantan yang hampir 80 persen wilayahnya tertutup asap dengan kepekatan sedang hingga tinggi. Pada pertengahan Oktober 2015, ISPU di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya beberapa kali melewati angka 1000. Artinya sangat berbahaya bagi kesehatan. Buruknya kualitas udara membuat sekolah-sekolah yang berada di sekitar lokasi bencana harus libur sampai beberapa bulan.
Titik api dan asap yang dihasilkan menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan amat besar, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, karena luasnya skala polusi udara dari asap kebakaran. ISPU di Singapura mencapai rekor tertinggi pada tahun itu, yakni 211 alias sangat tidak sehat.
Alhasil, Badan Lingkungan Nasional (National Environment Agency) mengimbau warga Singapura agar mengurangi aktivitas di luar ruangan dan kegiatan fisik untuk mencegah mereka terkena penyakit akibat paparan asap. Pemerintah Singapura bahkan menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatera, karena asap kebakaran hutan Sumatera ini mengancam reputasi Singapura sebagai destinasi wisatawan mancanegara.
Kondisi serupa terjadi di Malaysia yang membuat pemerintah meliburkan sekolah di beberapa wilayah karena kabut asap kian buruk. "Indeks Polusi Udara mendekati 200. Semua sekolah di Selangor, Kuala Lumpur, Putrajaya, Negeri Sembilan, dan Melaka akan ditutup mulai besok, 15 September 2015," kata Kementerian Pendidikan Malaysia, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 14 September, dikutip dari Channel NewsAsia.
Menteri Pendidikan Malaysia, Mahdzir Khalid, menyatakan sekolah hanya akan ditutup ketika Indeks Polusi Udara mencapai 200. Sebagai catatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan Kepmen LH Nomor: KEP-45/MENLH/10/1997 membagi kriteria kualitas udara menjadi lima kriteria.
Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, bahkan sampai perlu menyambangi Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, pada 18 September 2015. Hamidi menemui Luhut untuk membahas berbagai persoalan, mulai masalah ekonomi, sosial, sampai kabut asap kebakaran hutan yang ikut mengepung Malaysia.
Kerugian Ekonomi Rp 215 Triliun
World Bank mengatakan jumlah kerugian dan dampak jangka panjang dari bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 belum sepenuhnya diketahui. Namun, perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia akibat kebakaran hutan tahun itu melampaui US$ 16 miliar, sekitar Rp 215 triliun dengan nilai tukar dolar Amerika Serikat saat itu. Jumlah ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004 di Aceh dan setara dengan 1,8 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Estimasi ini mencakup kerugian di sektor pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat kerusakan dan kerugian langsung terhadap hasil panen, kehutanan, perumahan dan infrastruktur, dan biaya yang ditimbulkan untuk menangani api.
Banyak kerugian ekonomi disebabkan dampak tidak langsung, seperti terganggunya perjalanan udara, laut dan darat akibat asap. Lumpuhnya kegiatan ekonomi selama berpekan-pekan sudah pasti akan menggerus pertumbuhan ekonomi dan menghambat upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah yang menderita bencana asap paling parah, seperti Kalimantan Tengah.
Ketika asap menyebar, kegiatan perdagangan dan sekolah di wilayah terpaksa dihentikan. Banyak warga tak bisa mencari nafkah. Bahkan bagi warga miskin yang terkena penyakit ISPA, situasinya benar-benar ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Sekitar 5 juta siswa kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah pada tahun 2015.
Kebakaran hutan dan lahan pada 2015 lalu juga berdampak sangat besar kepada lingkungan. Lebih dari 2,6 juta hektare hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar atau 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait keanekaragaman hayati diperkirakan bernilai sekitar US$ 295 juta pada tahun 2015. Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektare habitat orang utan dan hewan yang hampir punah lainnya hancur dan butuh waktu sangat lama untuk pulih.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan pada tahun itu menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca secara global.
Selama beberapa bulan hutan membara dan menyemburkan asap serta material ke atmosfer, kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan pada tahun itu menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca secara global. Pada bulan Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi karbon dari perekonomian Amerika Serikat atau lebih dari 15,95 juta ton emisi karbon dioksida per hari.
Belinda Margono dari Direktorat Invetarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi KLHK, pada Konferensi Iklim PBB COP21 di Paris, Prancis, Desember 2015, menyebutkan luas kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 mencapai 2.640.049 hektare dengan emisi yang dilepas ke atmosfer antara 0,8 dan 1,1 gigaton gas rumah kaca.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pengarahan kepada peserta Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Rakornas Karhutla) Tahun 2017, di Istana Negara, pada 23 Januari 2017 mengatakan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 mencapai Rp 220 triliun, termasuk dampak karena pembatalan penerbangan, perkantoran yang libur, maupun aktivitas ekonomi yang berhenti. “Sebuah angka yang sangat besar,” ujarnya.
Di sisi kesehatan, menurut Presiden, pada 2015 gangguan kesehatan yang ditimbulkan mencapai 504 ribu orang terutama anak-anak yang terkena ISPA. Dampak lain yang ditimbulkan adalah hilangnya habitat keragaman hayati. “Ini juga dampak yang tidak bisa dihitung secara ekonomi. Besar sekali, hutan yang rusak diperkirakan 2,6 juta hektare. Kemudian juga yang berkaitan dengan liburnya sekolah, ini juga enggak bisa dihitung kerugian kita berapa. Berapa hari tidak sekolah, berapa minggu libur, atau berapa bulan libur,” Presiden Jokowi memaparkan.
Korban Jiwa dalam Jangka Panjang
Asap segera pergi dihembus angin, tapi dampak dari kebakaran hutan masih berumur panjang. Tim peneliti dari Harvard University dan Columbia University memperkirakan ada 100.300 kasus kematian dini yang dipicu oleh kebakaran hutan di Indonesia pada September-Oktober 2015. Angka itu meningkat dua kali lipat dibandingkan kejadian serupa pada September-Oktober 2006. Hasil riset mereka dipublikasikan di Environmental Research Letter pada 19 September 2016 dengan judul “Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September–October 2015: demonstration of a new framework for informing fire management strategies to reduce downwind smoke exposure”.
Yang jadi korban terbesar, tentu saja warga wilayah Indonesia yang paling dekat dengan lokasi kebakaran. Tim peneliti Harvard University dan Columbia University memperkirakan, bakal ada 91.600 kematian dini ada di Indonesia, 2.200 kasus kematian di Singapura, dan 6.500 kasus kematian di Malaysia, akibat dampak jangka Panjang kebakaran hutan. Penelitian ini menggunakan observasi penyebaran asap yang dilihat melalui satelit. Tim ilmuwan di bidang kesehatan masyarakat dan atmospheric modelling ini meneliti jumlah kematian orang dewasa karena menghirup partikel padat pada asap dengan ukuran 2,5 Particulate Matter (PM 2,5).
Jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, angka kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030.
Jurnal terbaru yang ditulis tim gabungan peneliti dari universitas yang sama dengan judul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” yang terbit Juli 2019 ini menyebutkan, jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, angka kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030. Dari angka itu, 92 persen kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati, menegaskan rusaknya ekosistem rawa gambut meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan. Dari laporan tahunan WALHI, Tinjauan Lingkungan Hidup Tahun 2019, terlihat setelah kebakaran hutan dan lahan besar-besaran pada 2015, jumlah titik api yang terpantau di lahan gambut turun tajam hingga tahun 2017. Namun pada tahun 2018, jumlah titik api justru menunjukkan peningkatan tajam hampir 10 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Apa yang terjadi?
Menurut perempuan yang akrab disapa Yaya ini, berbagai upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan saat ini sayangnya tidak menyelesaikan akar masalahnya. “Penegakan hukum hampir tidak menyentuh korporasi. Pada saat yang bersamaan, proses pemulihan ekosistem rawa gambut oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk pemerintah sejak awal 2016 lalu belum menyentuh pada kawasan konsesi korporasi,” kata Yaya. Penegakan hukum dan review terhadap perizinan perusahaan-perusahaan perkebunan dan perhutanan jadi hal krusial agar kebakaran hutan tak terus terulang.***