BI Diramal Tahan Bunga Acuan Demi Jaga Rupiah
Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada siang nanti untuk memutuskan arah suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate. BI diperkirakan bakal mempertahankan suku bunga acuannya, usah memangkas pada bulan lalu sebesar 0,25%.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah Redjalam memprediksikan BI akan menahan suku bunga acuan pada RDG kali ini. Hal ini seiring masih tertekannya nilai tukar rupiah.
"Tekanan pelemahan rupiah masih tinggi. Oleh karena itu, yang paling tepat bagi BI adalah menahan suku bunga," katanya saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (22/8).
Menurut Pieter, rupiah masih tertekan belakangan ini karena dolar AS yang terus menguat seiring penantian arah kebijakan bank sentral mereka. Ia meyakini BI akan menimbang bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) cenderung menahan suku bunga bulan ini.
"Sejauh ini pergerakan rupiah adalah rujukan kebijakan suku bunga acuan BI," ucap dia.
(Baca: Rilis Notulensi Rapat The Fed Buat Rupiah dibuka Menguat ke Rp 14.230)
Ia menjelaskan, arah kebijakan The Fed tentunya akan berpengaruh terhadap aliran modal global. Jika The Fed memberi sinyal akan menurunkan suku bunga, maka BI akan lebih berani menurunkan suku bunga.
Namun, sinyal The Fed hingga saat ini dinilai Pieter tak cukup dovish. "Ini merujuk penyampaian The Fed usai penurunan suku bunga yang lalu," ujarnya.
Pernyataan senada turut disampaikan Ekonom Permata Bank Josua Pardede. Ia turut memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada RDG bulan ini.
"Meningkatnya ketidakpastian global akibat perang dagang AS-Tiongkok telah mengurangi sentimen risiko dan menekan rupiah dalam beberapa waktu terakhir ini," ucap dia saat dihubungi di waktu yang berbeda.
(Baca: Virus Proteksionisme di Balik Guncangan Perdagangan Dunia)
Meskipun memperkirakan BI akan menunda pemangkasan suku bunga, ia menilai BI dapat mengoptimalkan instrumen kebijakan lainnya. Adapun kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan makroprudensial dan kebijakan operasi pasar terbuka.
Hal tersebut dinilai Josua dapat dilakukan BI sementara menunggu waktu yang tepat untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan. "Ruang pelonggaran kebijakan moneter diperkirakan terbuka dalam jangka pendek ini," ujarnya.
Ekspektasi ini dinilai Josua dipertimbangkan BI karena adanya proyeksi penurunan defisit transaksi berjalan pada full year 2019. Selain itu, ekspektasi terkendalinya inflasi yang dapat mendukung stabilitas rupiah turut menjadi pertimbangan BI.
Rupiah belakangan ini memang tertekan oleh perang dagang terutama semenjak Donald Trump kembali mengancam kenaikan tarif impor Tiongkok. Namun sejak awal Januari, rupiah masih dalam posisi apresiasi sebesar 1,07% per 19 Agustus 2019 secara tahun kalender. Nilai ini lebih baik dibandingkan dengan Malaysia (-1,04%) dan Vietnam (0,15%)
Sementara itu, pada perdagangan di pasar spot pagi ini, rupiah bergerak menguat. Hingga pukul 10.45 WIB, rupiah berada di posisi Rp 14.239 per dolar AS, menguat 0,03% dibanding posisi kemarin,