Luthfi Jayadi Kurniawan, Capim KPK yang Ingin Bongkar Korupsi di TNI
Sepuluh nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diserahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari nama-nama tersebut, akan diambil lima nama yang bakal menjadi pimpinan definitif KPK.
Pro dan kontra mengenai calon-calon yang lolos seleksi terus bergulir. Namun, tak ada lagi perubahan atas nama-nama yang terpilih. Salah satu di antara sepuluh capim KPK tersebut adalah Luthfi Jayadi Kurniawan, pendiri Malang Corruption Watch (MCW). Lembaga yang didirikannya itu disebut memiliki pola kerja yang mirip dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Ia mengaku menjadi pemerhati kasus-kasus korupsi sejak 1998.
Pria kelahiran Bondowoso ini adalah dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Malang. Pada saat mengikuti tes wawancara dan uji publik, Luthfi mendapat pertanyaan tentang celah korupsi di TNI. Anggota Pansel Capim KPK Hendardi mengatakan, dalam sejarah KPK, institusi TNI belum tersentuh. "Apakah Anda yakin di TNI tidak ada praktik korupsi? Bagaimana jika ditemukan?" kata Hendardi seperti dikutip Kompas.com.
Luthfi mengatakan, celah penyalahgunaan anggaran ada di setiap instansi. Jika hal itu terjadi, TNI pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
Ia juga mendapat pertanyaan mengenai kasus korupsi massal yang dilakukan 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malang. Luthfi mengatakan, korupsi massal tersebut terjadi akibat lemahnya pengawasan. "Faktor pengawasan internal pemerintah kurang kuat, generasi kaderisasi partai politik dan perilaku (korupsi) ini yang terus terjadi turun-temurun," kata Luthfi seperti dikutip Tribunnews.
(Baca: DPR Mulai Proses Seleksi dan Pemilihan 10 Capim KPK Pekan Depan)
Tak Mampu Bedakan Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor
Namun, pada saat ditanya oleh Wakil Ketua Pansel KPK Indriyanto Seno Adji mengenai perbedaan pasal 5 dan pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Luthfi tak mampu menjawab. "Saya tidak paham," ujarnya.
Padahal, pasal 5 dan pasal 12 UU Tipikor kerap digunakan KPK untuk menggelar ekspose sebelum menetapkan status hukum para terduga pelaku korupsi. Pasal 5 UU Tipikor berisi ancaman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp 50 juta dan maksimal 250 juta bagi pemberi dan penerima suap.